Sunday, May 25, 2014

Dialog #1

"Apakah kamu tahu bahwa rambut dan kuku manusia itu terbuat dari zat yang sama?"

"Oh, ya?"

"Lalu apakah kamu tahu juga bahwa jaring laba-laba itu lebih kuat dari baja sekalipun?

"Serius? Aku baru tahu akan hal itu."

"Iya, itu benar. Ah, aku cinta sekali dengan sains."

"Aku tidak yakin kamu mengerti apa itu cinta, atau bahkan sains itu sendiri."

"Lho, apa yang membuatmu berkata seperti itu?"

"Begini.. Ketika kamu mencintai sesuatu, kamu tidak hanya mencintai bagian yang menarik dan menyenangkan saja, tetapi kamu juga harus mencintai bagian yang tidak menarik dan membosankannya juga." 

"Hmm, maksudmu?"

"Orang-orang yang benar-benar mencintai sains tentu menghabiskan dan mengorbankan hidupnya untuk mempelajari hal-hal yang membosankan, juga di saat mereka mempelajari hal-hal yang menyenangkan."

"Jadi, menurutmu aku hanya tertarik pada hal yang menarik dan uniknya saja? Lalu itu tidak dapat disebut cinta?"

"Tentu tidak. Andaikan sains dapat berjalan dan kamu berpapasan dengannya, kamu adalah orang yang hanya akan menengok ke belakang untuk melihat bokongnya yang montok."

Wednesday, May 21, 2014

Tapi Kamu Tidak


Ingatkah hari itu ketika kamu meminjamkanku vespa barumu dan aku mengendarainya masuk ke selokan? Aku kira kamu akan marah besar..

Tapi kamu tidak. Kamu hanya menganggap hal itu sebagai suatu kesialan dan tak bisa dihindarkan.

Ingatkah hari itu ketika aku tak bisa menahan tawa lalu memuntahkan isi mulutku yang penuh makanan ke laptopmu? Aku kira kamu akan membenciku..

Tapi kamu tidak. Kamu hanya ikut tertawa dan membersihkan mulutku setelah itu.

Ingatkah hari itu ketika aku memaksamu untuk pergi ke pantai, lalu sampai akhirnya disana turun hujan deras seperti yang sudah kamu kira? Aku kira kamu akan mengatakan, “Sudah kubilang!”..

Tapi kamu tidak. Kamu hanya membawaku ke saung di dekat pantai lalu mengeringkan rambutku dengan handukmu.

Ingatkah hari itu ketika aku iseng menanggapi lelaki yang menggodaku di social media untuk membuatmu cemburu, dan kamu benar-benar cemburu setelah itu? Aku kira kamu akan meninggalkanku..

Tapi kamu tidak. Kamu hanya menjitak kepalaku keesokan harinya.

Ingatkah hari itu ketika aku lupa memberitahumu bahwa dresscode acara ulang tahun temanku adalah baju formal? Sampai akhirnya kamu datang hanya memakai kaus oblong dan celana jeans. Aku kira kamu akan langsung pulang..

Tapi kamu tidak. Kamu hanya cuek dan menarikku ke meja yang dihidangkan chocolate fondue lalu menyuapiku.

~

Ya, ada banyak hal yang tidak kamu lakukan, tapi kamu tulus menyayangiku, melindungiku, membuatku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di seluruh dunia.

Ada banyak sekali hal yang aku ingin lakukan bersamamu ketika kamu kembali membuka mata.

Aku ingin kamu mengajakku berlari menembus padang ilalang yang tersinari oleh lembayung senja. Aku ingin kamu memintaku menemanimu untuk menyelami alam bawah laut yang biru, dengan pilar-pilar cahaya matahari terik yang menelisik masuk menerangi karnaval kehidupan bersirip. Aku ingin berbaring di sebelahmu di bawah pohon yang sejuk, memandangi awan-awan yang mengambang malas di luasnya lantai langit biru yang tak terbatas.

Bahkan andaikan kita harus melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin, aku tetap ingin ada di dalam dekapanmu.

Aku tersenyum membayangkanmu berdiri dari ranjangmu, melepas masker oksigen, melompat keluar dari kamar sambil menarik tanganku menuju antah-berantah, dengan satu-satunya cara untuk menemukan arah kita adalah dengan membaca bintang gemintang.



Tapi kamu tidak.

Tuesday, May 13, 2014

Alat Tukar Menukar

Semua kebahagiaan dan kesedihan berasal dari uang.

Setidaknya bagi mereka yang menuhankannya. 

Menyenangkan dan membuat sedih orang lain butuh biaya materiil dan non-materiil.
Memakan uang teman, orang tua, dan atasanmu sendiri.
Dan katanya, bahkan bisa membeli cinta. Bermain lendir per jam.
Juga uang bensin sekedar melepas rindu kepada lelaki cantik dan wanita tampan idaman hatimu.

Menulis ini pun butuh biaya.

Berperan layaknya pengendali alam semesta, kehidupan tentunya,
bahkan untuk kamu yang hobi beribadah (atau sekedar mengguggurkan kewajiban?) dan beramal baik (karena takut neraka dan rindu surga).

Bagaimana kalau kita hancurkan saja b.a.z.i.s di bulan suci?
Memberi kacang sebagai sedekah seperti kepada monyet kelaparan dalam kurungan. Tapi konsep beras boleh juga, untuk perut juga, ya?

Lebih baik sistem purba diberlakukan kembali saja, yaitu barter yang dicontohkan di film kolosal di jaman sebelum sang juru penyelamat lahir? Kenapa tidak? Sama saja, ya?

Ah, aku terlalu tolol untuk menjadi sok tahu dan banyak tanya.

Bagaimana kalau aku memberi saja titah bagi kalian yang gemar berharap, berdoa, bertekuk lutut dan meminta belas kasihan sepanjang waktu agar ada yang memusnahkan uang? Untuk kehidupan lebih baik, juga menghilangkan konsumerisme yang sangat dekat dengan nyawa dan hutang budi, termasuk menyekolahkan anak anda menjadi yang terhormat daripada orangtuanya sendiri.

Membalasnya dengan membuang mereka yang sudah jompo.

Membeli darah dan nafas buatan pada kapital swasta.

~

Pencetak masalah, pengendali kehidupan, sok tuhan, lingkaran setan!

Terkutuklah penemu konsep uang!

Friday, May 2, 2014

Punggung

Sinar mentari sore menelisik masuk di antara celah-celah pepohonan yang berjejer teratur di taman. Semilir angin sejuk berhembus sesekali, menembus masuk jendela yang terbuka setengahnya. Detak jarum detik jam dinding yang menggantung di atas papan tulis terdengar begitu cepat, aku tidak mengharapkannya.

Punggung itu, aku masih ingin memandanginya.

Aku sudah lama senang memandangi punggungnya. Punggung yang mengembang pelan dan tenang secara berirama, yang dijatuhi lembut oleh riak-riak gelombang semesta hitam.

Aku ingin menjadi seseorang yang selalu bisa mengelusnya ketika memeluknya, menepuknya halus ketika menghiburnya, memainkan jariku mengikuti garis lengkung punggungnya ketika menggodanya.

Punggung itu, membuat fantasiku mengabaikan langit sebagai batas.

Bel sekolah berbunyi nyaring. Tak berapa lama, punggungnya yang damai pun berbalik. Dia. Aku jarang melihat matanya. Terakhir kali bertukar pandang, napasku tercekat. Dari hidungnya yang mancung sampai dagunya yang mungil, pandanganku harus sebatas itu ketika berpapasan dengannya.

Sejujurnya, aku merasa tidak pantas untuk mendekatinya. Dia bagaikan bintang terang di langit malam, aku hanya kerikil kecil di pinggir jalan. Lelaki sepertiku hanya berhak untuk mengaguminya diam-diam. Hanya dengan punggung itu, aku bisa menerimanya.

Aku tertatih mencoba untuk bangkit ketika punggung itu menjauh, dan sampai akhirnya menghilang dari pandanganku. Biarlah, batinku. Lagipula, tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mencintai; memilih untuk diam, memperhatikan dari jauh, dan mendoakan diam-diam

Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cintai. Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk tersenyum di kala membuatnya tertawa dalam khayal sebelum tidur. Tiap orang juga mempunyai caranya sendiri untuk menyembunyikan tangisnya sendiri.

Caraku, adalah dengan memandangi punggungnya hingga tersesat dalam angan, sampai terasa letup-letupan yang membuncah, pelan-pelan menggelitik dari dalam, larut dalam nyaman yang menjadikannya candu.

Enggan mencari jalan untuk kembali, karena tidak ada dia yang menungguku di pintu keluar.