Friday, May 2, 2014

Punggung

Sinar mentari sore menelisik masuk di antara celah-celah pepohonan yang berjejer teratur di taman. Semilir angin sejuk berhembus sesekali, menembus masuk jendela yang terbuka setengahnya. Detak jarum detik jam dinding yang menggantung di atas papan tulis terdengar begitu cepat, aku tidak mengharapkannya.

Punggung itu, aku masih ingin memandanginya.

Aku sudah lama senang memandangi punggungnya. Punggung yang mengembang pelan dan tenang secara berirama, yang dijatuhi lembut oleh riak-riak gelombang semesta hitam.

Aku ingin menjadi seseorang yang selalu bisa mengelusnya ketika memeluknya, menepuknya halus ketika menghiburnya, memainkan jariku mengikuti garis lengkung punggungnya ketika menggodanya.

Punggung itu, membuat fantasiku mengabaikan langit sebagai batas.

Bel sekolah berbunyi nyaring. Tak berapa lama, punggungnya yang damai pun berbalik. Dia. Aku jarang melihat matanya. Terakhir kali bertukar pandang, napasku tercekat. Dari hidungnya yang mancung sampai dagunya yang mungil, pandanganku harus sebatas itu ketika berpapasan dengannya.

Sejujurnya, aku merasa tidak pantas untuk mendekatinya. Dia bagaikan bintang terang di langit malam, aku hanya kerikil kecil di pinggir jalan. Lelaki sepertiku hanya berhak untuk mengaguminya diam-diam. Hanya dengan punggung itu, aku bisa menerimanya.

Aku tertatih mencoba untuk bangkit ketika punggung itu menjauh, dan sampai akhirnya menghilang dari pandanganku. Biarlah, batinku. Lagipula, tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mencintai; memilih untuk diam, memperhatikan dari jauh, dan mendoakan diam-diam

Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cintai. Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk tersenyum di kala membuatnya tertawa dalam khayal sebelum tidur. Tiap orang juga mempunyai caranya sendiri untuk menyembunyikan tangisnya sendiri.

Caraku, adalah dengan memandangi punggungnya hingga tersesat dalam angan, sampai terasa letup-letupan yang membuncah, pelan-pelan menggelitik dari dalam, larut dalam nyaman yang menjadikannya candu.

Enggan mencari jalan untuk kembali, karena tidak ada dia yang menungguku di pintu keluar.

No comments:

Post a Comment