Wednesday, June 18, 2014

60-20



Bapak sudah berumur 60 tahun, sedangkan aku akan berumur 20 tahun Agustus nanti. Tak terasa.

Tak terasa karena aku masih ingat rasanya terbangun di pelukannya menuju tempat tidur karena tertidur di depan televisi, namun aku berpura-pura masih berada di alam mimpi karena tak ingin beliau tahu bahwa aku nyaman dalam dekapannya dan menikmati tiap semilir wangi khas tubuhnya.

Tak terasa karena aku masih ingat rasanya diajari memainkan gitar dan piano olehnya, dengan tangannya yang besar, sedikit kasar, namun hangat menuntun jari-jari kecilku saat itu agar bisa melantunkan nada-nada merdu nan indah.

Tak terasa karena aku masih ingat rasanya punggungku dipukulinya dengan sapu lidi jika aku berbuat nakal seperti menyakiti adikku atau mencuri uang kembalian ibuku, namun setelah kemarahannya memudar, beliau seringkali secara tersirat mengungkapkan penyesalannya dengan mengajakku keluar untuk sekedar berjalan-jalan, lalu membelikanku layang-layang atau segenggam kelereng, juga terkadang es krim, permen, coklat, atau hal-hal lain yang aku sukai.

Tak terasa karena aku masih ingat rasanya bergumul dengan kakak dan adikku di dalam selimut, larut dalam cerita-ceritanya yang jenaka seperti kisah Abu Nawas, yang horor seperti kisah Dracula, atau bahkan pengalaman-pengalaman hidupnya yang penuh perjuangan dan berakhir mengagumkan.

Tak terasa karena aku masih ingat rasanya hancur berkeping-keping ketika melihat beliau yang kuanggap sebagai seorang bapak yang tegas dan kuat perkasa, menangis terisak-isak di akhir shalat-nya ketika ibu tirinya meninggal dunia, jauh di kampung halamannya.

Tak terasa karena aku masih ingat rasanya tertegun akan petuahnya dalam memaknai hidup dan kehidupan olehnya dengan intonasi yang berubah-rubah namun teratur dan sinkron dengan tiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, dari lembut menenangkan hingga lantang meyakinkan.

-
Hari Sabtu, tanggal 14 Juni kemarin, bapak berulangtahun.

Bapak tetap seperti yang dulu. Tetap ceria, humoris, energik, supel, namun juga tegas; sesungguhnya penuh perhatian, caranya saja yang keras.

Bapak tetap kuanggap sebagai sosok yang serba bisa. Beliau pandai sekali dalam memainkan (hampir) semua alat musik, juga bernyanyi. Beliau juga serba pandai dalam bidang olahraga seperti menembak, memancing, bermain tenis, futsal, tenis meja, voli, bulutangkis, dan masih banyak lagi. Beliau juga pemegang sabuk hitam dalam pencak silat. Masakannya selalu enak, sketsa/gambarnya selalu bagus, dan juga keluargaku jarang sekali memanggil ahli reparasi karena beliau selalu bisa membenarkannya kembali.

Bapak memiliki banyak sekali teman dari segala kalangan, segala usia. Aku seringkali dibuat heran sekaligus iri dengannya, karena beliau dengan mudah dapat dekat dan akrab kepada orang baru, siapapun itu. Pernah sekali waktu ada pengamen yang membawakan lagu dengan kunci gitar yang salah, beliau keluar untuk mengajak pengamen tersebut duduk di teras rumah lalu mengoreksinya dengan kunci yang benar, bahkan beliau juga mengajari lagu-lagu baru kepadanya.

Dan juga yang paling penting, di umurnya yang sudah memasuki kepala enam, Bapak masih sehat. Semenjak aku bisa mengingat, dari dulu beliau tidak pernah sakit berat dan sampai masuk rumah sakit walaupun beliau mantan perokok berat dan memiliki darah tinggi. Beliau masih terlihat muda di mataku, walaupun rambutnya sudah beruban, juga kulit wajah dan lehernya sudah banyak mempunyai kerutan.

Bapakku adalah bapak juara satu seluruh dunia. Malam ini adalah nyanyian sunyi rasa sayangku yang tak bertepi untuk beliau.

Semoga saja Bapak berumur panjang sehingga terus melihatku tumbuh besar menjadi seorang dewasa dan sukses lalu membuatnya menangis bahagia dan bangga, hingga ingin mengangkatku tinggi ke udara seperti bagaimana yang beliau lakukan saat aku kecil dulu.

Amin.

Monday, June 9, 2014

Aku Beriman, Maka Aku Berpikir

Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu?

Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang.

Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kepadaku dengan kemampuan bebasnya sekali?

Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas.

Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.

Aku tidak ingin menjadi mereka yang lalai dalam ibadahnya. Bukan yang tidak melaksanakannya, tapi yang beribadah hanya untuk pengguggur kewajiban, sekedar takut akan ancamanmu tentang pedihnya neraka, dan tergiur akan kebahagiaan yang kekal di tempat yang dijanjikan oleh Engkau, yaitu surga. Tanpa mengerti apa makna dari ibadah itu sendiri. Tanpa memahami-Mu. Mencintaimu semata-mata karena sifat materialistik yang ada dalam tiap diri manusia.

Aku tidak ingin menjadi muslim yang tidak berpikir. Muslim yang mematuhi segala suruhan-Mu dan larangan-Mu hanya karena sepenuhnya berpasrah dari indoktrinasi agama-Mu yang dilakukan oleh orangtuaku sedari kecil, menjadikanku konservatif atas segala pemikiran atau nilai yang menyimpang dari apa yang sudah diterapkan walaupun sedikit.

Salahkah aku bila aku menggunakan pikiran-pikiran bebasku demi mencapai kebenaran-Mu?

Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru tanpa rasa takut akan dicap oleh sesama manusia.

Karena aku tahu, hanya Engkaulah yang berhak menilai keimanan seseorang.

Sekali lagi, aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.

Memahami manusia sebagai manusia.

Manusia bebas, manusia yang tidak terkekang, manusia yang tidak munafik. Manusia yang berjuang mencari kebenaran hakiki atas-Mu dari keragu-raguannya.

Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku pada-Mu akan pulih kembali.

-
Terinspirasi oleh Ahmad Wahib, seorang pemikir, dengan menggunakan dan mengembangkan beberapa penggalan kalimat dari catatan hariannya di dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam (1981).

Friday, June 6, 2014

Untitled

Sejak aku memulainya. Yang ada hanya waktu yang berjalan begitu cepat. Percakapan yang tidak berakhir sempurna. Mata yang ngawur, seperti orang mengantuk. Prestasi yang jeblok. Semua doa orang lain tak sampai untukku. Ah, apakah memang ada?

Sholatku tak tenang. Mungkin semua hanya sugesti, pikirku. Terlalu kagum dengan paham agnostik. Iri kepada adik, kakak, dan keluarga dalam hal sholat mereka.

Badan yang rusak. Badan yang lemah. Racun terus masuk, terus konsumsi, bagaimana tidak. Hanya menuruti candu, nikmat sesaat, menyesal, besoknya mau lagi. Seperti masturbasi.

Penyesalan, sesekali. Absurditas. Ketidakmaksimalan. Kemunafikkan. Kegagalan. Ketidakbermanfaatan. Kehilangan, kecaman juga, mungkin. Surealis.

Wah, umurku sudah hampir 20 tahun. Ya. Tidak terasa. Bodoh! Kok? Sekarang belum kapok, mau jadi apa kau, nak? Ya, ampun. Ditipu daya. Keyakinan naik turun. Mau belajar tapi tak mau sungguh-sungguh berjuang.

Hidup ini seperti ditimpa tanah longsor; berat, menunggu ditolong orang lain, kalau tidak ya menunggu mati.

Yang ada kau dan setan. Jadi pandai-pandai menyegel diri.

Teman. Ya, setidaknya aku yang menganggap mereka teman. Lalu ada orang tua, keluarga, guru, dan lainnya, semua tertipu. Sebenarnya terhina. Kuhina. Kecuali yang tak nampak, makhluk halus tidak dihitung.

Mau bagaimana lagi? Siapa yang lebih dulu mulai membicarakan hina di belakang? Aku lebih memilih untuk ditembak tepat di dahiku sendiri, daripada punggungku yang ditusuk, lalu di kemudian hari aku baru mengetahui ada pisau yang menancap di belakangku sejak lama dan lalu merasakan sakitnya karena sudah membusuk.

Sekarang sudah hampir terkulai. Serasa berat kaki ini. Serasa buntu otak ini. Yang ada hanya abstrak. Tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, ini memang kebodohanku. Aku tidak boleh menyalahkan mereka. Yang ada aku, mulutku, nafsuku, kemudahan dan pertanggungjawaban. Semua sudah tertipu. Ma’afkan aku.

20 tahun yang terasa cepat. Tidak bermanfaat. Susah untuk kembali. Aku perlu pendamping dan pembimbing. Aku pikir jika aku mengaku maka aku menjadi terhina. Hina durjana. Sudah ribuan menitku, sepertinya, dirampasnya. Wah, aku merasa sudah dikalahkan.

Aku memang masih seperti dulu. Masih terperangkap dan belum juga beranjak pergi. Tarik aku. Angkat aku. Lalu banting ke dalam sumur. Yang gelap, pengap, sesak, angker, seperti terjebak di dalam kuburanku sendiri.

Anggap saja aku buta, tuli dan bisu. Semu. Semua tertipu. Hanya kami yang tahu. Kalian tidak. Mau diratap tapi tiada guna. Mau mati masih bangkrut. Mau hidup takut mengulangi hal yang sama.

Apa sebaiknya aku hijrah? Belajar agama dari nol.

Adakah yang mau denganku setelah semua ini? Tidak tahu siapa istriku nanti. Ah, bahkan aku tak bisa membayangkannya. Tak bisa membayangkan masa depanku..

Sekarang aku jujur, aku tidak mampu. Aku butuh waktu untuk belajar jadi orang yang bersih. Yang bisa mengantarkanku ke surga. Surga akhirat saja. Surga dunia tidak jadi tujuan, tidak apa-apa. Jadi sampah masyarakat, sekalipun. Jadi orang gila, telanjang. Malu? Kan gila, tapi bersih. Amalku bersih, ya.

Aku seperti binatang buas yang baru lepas kandang. Andai saja. Begini dan begitu. Tiap orang memang punya garis berbeda. Aku merasa aku sudah di pinggir palungku. Semoga aku tidak menginjak lumpur hidup, terhisap. Merasa sudah tua. Tidak berdaya. Yang ada di otakku itu itu saja. Umur bisa diperpanjang, nggak, ya?

Kenapa tidak ijinkan aku jadi penyebar agama saja? Kalau boleh. Kalau bisa. Pengamal agama. Pembeda dalam agama. Pembelajar. Orang yang punya target dan rencana. Orang yang tahu diri dan waktu.

Mungkin disini memang tempatku. Tempat kumuh yang baru. Antara menjadi cahaya atau menjadi kotoran. Mungkin batu kerikil di pinggir jalan, yang tidak akan pernah dipedulikan seseorang pun.

Oh, hidup!

Woy, hidup! Hidup sialan! Yang tidak memihakku! Bedebah! Jangan berakhir cepat sebelum aku bersih dan siap! Tapi jangan terlalu panjang untuk dilanjutkan! Tuh, tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, sudah. Semoga yang aku sudah umbar aku tepati.

Aku harap aku tidak menjadi lebih munafik. Aku harap aku tidak menjadi lebih tersesat. Semoga belum terlambat.

Mohon bimbingannya, ya!

-
Apakah aku sudah memahami pandanganmu atas kemuakan akan hidupmu sendiri, Keyko? Semoga Kamu dapat membaca ini, bagaimanapun caranya, dimanapun kamu berada.

Wednesday, June 4, 2014

Dialog #3

"Kau pernah jatuh cinta?"

"Sekali. Di bulan."

"Lalu senang?"

"Sekali! Kau?"

"Aku akan menikah dengan terminal."

"Maksudmu?"

"Dengan mengikatnya, cinta, aku, dan terminal jadi tak terpisah. Bukan begitu?"

"Sejatinya iya. Hanya saja ikatan kadang tak sebenarnya hebat."

"Jangan merayu sayu! Selera kalimatmu masih sedayu dahulu."

"Oh iya, ceritakan kisahmu!"

"Kami bertemu dulu. Dua hari. Kami berangkat disana. Pun kita pulang bersama. Merasa senang. Aku mencium. Dia memeluk, besoknya dia kemudian hamil. Kata dokter, rinduku laki-laki."

"Secepat itu?"

"Bingung juga. Mungkin pandangan pertamaku terjadi ketika masa subur. Oleh karena itu aku tidak bisa kabur. Atau mundur."

"Benar darah dagingmu?"

"Hmm, tak usah buru-buru cemburu. Bukankah anak atau rindu itu sama? Berasal dari hasil jatuh suka. Sebuah simbiosis. Penyatuan yang unik, abstrak, dan apalah."

"Begitukah?"

"Kau sendiri, akan ke bulan lagi?"

"Mungkin. Dalam waktu jauh. Itu juga kalau aku tak jenuh. Bulan tempat paling teduh. Sayang disana tidak ada sapu. Rabu. Serta ragu-ragu."

"Mengapa kau tidak mencari bintang saja? Di udara bahkan laut, mereka merumahkan diri. Jadi kau tak perlu bersusah repot."

"Tapi bulan itu istimewa. Bulat, artinya dia halus. Tidak seperti bintang yang runcing dan bertangan lima. Sementara bulan, umurnya kelipatan empat belas. Seperti rindu yang merapat tak selalu saling membalas."

"Hati-hati, lho! Kadang rindu adalah jalur patah hati paling keji kala kata luka lara."

"Lha, kenapa?"

"Orang bisa menciptakan hal luar biasa saat patah hati. Termasuk memetik rembulan. Orang pun tak perlu jalur janur melengkung untuk mencari dewasa ayu buat saling mempersunting."

"Apa iya bulan akan selingkuh? Meski dia cantik, tapi dia setia kok!"

"Bagaimana kau tahu dia perempuan?"

"Aku pernah liat ia memakai pembalut di malam kelima."

"Oh, benarkah? Keningmu sepertinya panas."

"Tidak, kening kita. Mungkin terlalu larut dalam rata kata kiri kanan. Sementara klausamu terlalu lemah untuk menjamah ruang spasi."

"Sudah-sudah. Terminalmu adalah subjek yang sulit teranalisa. Sementara rembulan menjadi keterangan tempat paling misterius. Mereka berdua tanpa predikat yang berasal dari kata kerja berawalan cinta berbentuk segitiga."

"Baiklah. Mari berjalan pulang."

-
Siratan dialog ini tiba-tiba terkonstrak dengan sendirinya di belakang mata, memaksa dengan lembut untuk menuangkannya di atas kertas bermodalkan pena yang hampir habis selama satu jam, sebelum kubiarkan hanyut dalam wadah dimensi ketujuh ini. Sedari realita kini yang nampaknya dapat menjadi lebih indah dari sekedar mimpi-mimpi. Atau mungkin tidak.

Dialog #2

"Scream.."

"What?"

"AAAAAAAAAHHH!"

"What're you doing?"

"Just follow me! AAAAAAAAAAAAHHHH!"

"Ah.. AAAAAAAAAAAAAAAHH!

"Look, it's fun, right? AAAAAAAAAAAAAHHH!"

"Haha, you're right. In the top of building, there's no one can hear you."

"It relieves the stress, too. AAAAAAAAAAAAAAHHH!"

"I'M FREEZIIIIIIIING!"

"ME TOO!"

"YOU ARE CRAZY!"

"YOU ARE CRAZIEEEEERR!"

"I LOVE YOUUUUUU!"

"...wh-"

"Ah, haha."

"...AAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!"

"..."

"..."