Wednesday, June 4, 2014

Dialog #3

"Kau pernah jatuh cinta?"

"Sekali. Di bulan."

"Lalu senang?"

"Sekali! Kau?"

"Aku akan menikah dengan terminal."

"Maksudmu?"

"Dengan mengikatnya, cinta, aku, dan terminal jadi tak terpisah. Bukan begitu?"

"Sejatinya iya. Hanya saja ikatan kadang tak sebenarnya hebat."

"Jangan merayu sayu! Selera kalimatmu masih sedayu dahulu."

"Oh iya, ceritakan kisahmu!"

"Kami bertemu dulu. Dua hari. Kami berangkat disana. Pun kita pulang bersama. Merasa senang. Aku mencium. Dia memeluk, besoknya dia kemudian hamil. Kata dokter, rinduku laki-laki."

"Secepat itu?"

"Bingung juga. Mungkin pandangan pertamaku terjadi ketika masa subur. Oleh karena itu aku tidak bisa kabur. Atau mundur."

"Benar darah dagingmu?"

"Hmm, tak usah buru-buru cemburu. Bukankah anak atau rindu itu sama? Berasal dari hasil jatuh suka. Sebuah simbiosis. Penyatuan yang unik, abstrak, dan apalah."

"Begitukah?"

"Kau sendiri, akan ke bulan lagi?"

"Mungkin. Dalam waktu jauh. Itu juga kalau aku tak jenuh. Bulan tempat paling teduh. Sayang disana tidak ada sapu. Rabu. Serta ragu-ragu."

"Mengapa kau tidak mencari bintang saja? Di udara bahkan laut, mereka merumahkan diri. Jadi kau tak perlu bersusah repot."

"Tapi bulan itu istimewa. Bulat, artinya dia halus. Tidak seperti bintang yang runcing dan bertangan lima. Sementara bulan, umurnya kelipatan empat belas. Seperti rindu yang merapat tak selalu saling membalas."

"Hati-hati, lho! Kadang rindu adalah jalur patah hati paling keji kala kata luka lara."

"Lha, kenapa?"

"Orang bisa menciptakan hal luar biasa saat patah hati. Termasuk memetik rembulan. Orang pun tak perlu jalur janur melengkung untuk mencari dewasa ayu buat saling mempersunting."

"Apa iya bulan akan selingkuh? Meski dia cantik, tapi dia setia kok!"

"Bagaimana kau tahu dia perempuan?"

"Aku pernah liat ia memakai pembalut di malam kelima."

"Oh, benarkah? Keningmu sepertinya panas."

"Tidak, kening kita. Mungkin terlalu larut dalam rata kata kiri kanan. Sementara klausamu terlalu lemah untuk menjamah ruang spasi."

"Sudah-sudah. Terminalmu adalah subjek yang sulit teranalisa. Sementara rembulan menjadi keterangan tempat paling misterius. Mereka berdua tanpa predikat yang berasal dari kata kerja berawalan cinta berbentuk segitiga."

"Baiklah. Mari berjalan pulang."

-
Siratan dialog ini tiba-tiba terkonstrak dengan sendirinya di belakang mata, memaksa dengan lembut untuk menuangkannya di atas kertas bermodalkan pena yang hampir habis selama satu jam, sebelum kubiarkan hanyut dalam wadah dimensi ketujuh ini. Sedari realita kini yang nampaknya dapat menjadi lebih indah dari sekedar mimpi-mimpi. Atau mungkin tidak.

No comments:

Post a Comment