Friday, June 6, 2014

Untitled

Sejak aku memulainya. Yang ada hanya waktu yang berjalan begitu cepat. Percakapan yang tidak berakhir sempurna. Mata yang ngawur, seperti orang mengantuk. Prestasi yang jeblok. Semua doa orang lain tak sampai untukku. Ah, apakah memang ada?

Sholatku tak tenang. Mungkin semua hanya sugesti, pikirku. Terlalu kagum dengan paham agnostik. Iri kepada adik, kakak, dan keluarga dalam hal sholat mereka.

Badan yang rusak. Badan yang lemah. Racun terus masuk, terus konsumsi, bagaimana tidak. Hanya menuruti candu, nikmat sesaat, menyesal, besoknya mau lagi. Seperti masturbasi.

Penyesalan, sesekali. Absurditas. Ketidakmaksimalan. Kemunafikkan. Kegagalan. Ketidakbermanfaatan. Kehilangan, kecaman juga, mungkin. Surealis.

Wah, umurku sudah hampir 20 tahun. Ya. Tidak terasa. Bodoh! Kok? Sekarang belum kapok, mau jadi apa kau, nak? Ya, ampun. Ditipu daya. Keyakinan naik turun. Mau belajar tapi tak mau sungguh-sungguh berjuang.

Hidup ini seperti ditimpa tanah longsor; berat, menunggu ditolong orang lain, kalau tidak ya menunggu mati.

Yang ada kau dan setan. Jadi pandai-pandai menyegel diri.

Teman. Ya, setidaknya aku yang menganggap mereka teman. Lalu ada orang tua, keluarga, guru, dan lainnya, semua tertipu. Sebenarnya terhina. Kuhina. Kecuali yang tak nampak, makhluk halus tidak dihitung.

Mau bagaimana lagi? Siapa yang lebih dulu mulai membicarakan hina di belakang? Aku lebih memilih untuk ditembak tepat di dahiku sendiri, daripada punggungku yang ditusuk, lalu di kemudian hari aku baru mengetahui ada pisau yang menancap di belakangku sejak lama dan lalu merasakan sakitnya karena sudah membusuk.

Sekarang sudah hampir terkulai. Serasa berat kaki ini. Serasa buntu otak ini. Yang ada hanya abstrak. Tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, ini memang kebodohanku. Aku tidak boleh menyalahkan mereka. Yang ada aku, mulutku, nafsuku, kemudahan dan pertanggungjawaban. Semua sudah tertipu. Ma’afkan aku.

20 tahun yang terasa cepat. Tidak bermanfaat. Susah untuk kembali. Aku perlu pendamping dan pembimbing. Aku pikir jika aku mengaku maka aku menjadi terhina. Hina durjana. Sudah ribuan menitku, sepertinya, dirampasnya. Wah, aku merasa sudah dikalahkan.

Aku memang masih seperti dulu. Masih terperangkap dan belum juga beranjak pergi. Tarik aku. Angkat aku. Lalu banting ke dalam sumur. Yang gelap, pengap, sesak, angker, seperti terjebak di dalam kuburanku sendiri.

Anggap saja aku buta, tuli dan bisu. Semu. Semua tertipu. Hanya kami yang tahu. Kalian tidak. Mau diratap tapi tiada guna. Mau mati masih bangkrut. Mau hidup takut mengulangi hal yang sama.

Apa sebaiknya aku hijrah? Belajar agama dari nol.

Adakah yang mau denganku setelah semua ini? Tidak tahu siapa istriku nanti. Ah, bahkan aku tak bisa membayangkannya. Tak bisa membayangkan masa depanku..

Sekarang aku jujur, aku tidak mampu. Aku butuh waktu untuk belajar jadi orang yang bersih. Yang bisa mengantarkanku ke surga. Surga akhirat saja. Surga dunia tidak jadi tujuan, tidak apa-apa. Jadi sampah masyarakat, sekalipun. Jadi orang gila, telanjang. Malu? Kan gila, tapi bersih. Amalku bersih, ya.

Aku seperti binatang buas yang baru lepas kandang. Andai saja. Begini dan begitu. Tiap orang memang punya garis berbeda. Aku merasa aku sudah di pinggir palungku. Semoga aku tidak menginjak lumpur hidup, terhisap. Merasa sudah tua. Tidak berdaya. Yang ada di otakku itu itu saja. Umur bisa diperpanjang, nggak, ya?

Kenapa tidak ijinkan aku jadi penyebar agama saja? Kalau boleh. Kalau bisa. Pengamal agama. Pembeda dalam agama. Pembelajar. Orang yang punya target dan rencana. Orang yang tahu diri dan waktu.

Mungkin disini memang tempatku. Tempat kumuh yang baru. Antara menjadi cahaya atau menjadi kotoran. Mungkin batu kerikil di pinggir jalan, yang tidak akan pernah dipedulikan seseorang pun.

Oh, hidup!

Woy, hidup! Hidup sialan! Yang tidak memihakku! Bedebah! Jangan berakhir cepat sebelum aku bersih dan siap! Tapi jangan terlalu panjang untuk dilanjutkan! Tuh, tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, sudah. Semoga yang aku sudah umbar aku tepati.

Aku harap aku tidak menjadi lebih munafik. Aku harap aku tidak menjadi lebih tersesat. Semoga belum terlambat.

Mohon bimbingannya, ya!

-
Apakah aku sudah memahami pandanganmu atas kemuakan akan hidupmu sendiri, Keyko? Semoga Kamu dapat membaca ini, bagaimanapun caranya, dimanapun kamu berada.

No comments:

Post a Comment