Post ini adalah tugas individu yang diberikan saat mata kuliah Kesehatan Mental semester empat lalu, yang tak sengaja ditemukan saat iseng membuka-buka folder kuliah. Berisikan tiga pertanyaan sederhana berkaitan dengan kebahagiaan, tugas ini merupakan yang terbaik selama saya berkuliah psikologi, dengan mengentahkan jawabnya benar atau salah. Silahkan dibaca jika ingin mengenali saya lebih dalam, syukur jika dapat sedikit menginspirasi. :)
1. Apakah saya bahagia?
Saya berbahagia dengan hidup saya saat ini. Keluarga yang akan selalu ada untuk saya, teman-teman yang menyenangkan karena kami saling memahami dan mengerti satu sama lain, membuat lubang-lubang lain di celah hidup menjadi tidak terlihat.
Saya juga termasuk orang yang sangat beruntung karena dibandingkan banyak orang lain yang belum juga menemukan gairah hidupnya, saya sudah telah lama menemukan passion saya dalam berkehidupan, yaitu bermusik, dan dengan bidang akademiknya yaitu psikologi.
Musik adalah jiwa saya. Musik itu indah, penuh warna, tak terbatas. Layaknya harmonisasi ribuan galaksi yang berputar pelan, Anda bisa membuatnya diam, melompat-lompat riang, berlari, atau bahkan saling bertubrukan diiringi ledakan maha dahsyat. Keunikan musik dan potensi-potensi yang dapat digali darinya yang membuatku tak pernah lelah tersesat di dalamnya.
Saya juga memutuskan untuk mencoba menggeluti dunia psikologi karena saya ingin menjadi life observer. Memang tak berbeda jauh dengan memahami ranah filsafat, namun dengan berfokus mempelajari, mengerti ketetapan-ketetapannya dan mengetahui kemungkinan-kemungkinan bagaimana "jiwa" manusia dapat bertransformasi menjadi apa saja, maka setidaknya menurut saya, Anda sudah bisa dibilang memahami sebagian arti hidup sebenarnya. Anda lebih dapat mengendalikan diri sendiri karena anda memahaminya luar dalam, pun orang lain. Karenanya menjadi life observer, seharusnya Anda bisa menjadi apa saja. Inilah keyakinan yang saya percayai dari dulu hingga sekarang.
Dengan tidak berfokus kepada kekurangan-kekurangan, dan terus menemukan dan memaksimalkan potensi-potensi yang ada dalam diri sendiri, maka sekali lagi, saya putuskan saya berbahagia saat ini.
2. Apa saja yang membuat saya bahagia?
Kehidupan sosial saya mungkin menjadi salah satu faktor terbesar saya dalam membuat saya bahagia. Adanya apresiasi, pengakuan diri dan konformitas yang terjadi di lingkungan sayalah yang berpengaruh besar dalam membuat saya bahagia.
Selain itu, penyaluran hobi dan minat saya pun tidak terganggu. Bahkan bisa dibilang, mimpi terbesar saya untuk menjadi musisi sudah terbuka lebar untuk saya saat ini. Saya telah bertemu dengan banyak orang-orang hebat dalam bidang musik dan bahkan bisa berteman dekat serta bekerjasama dengan sebagian orang-orang tersebut, yang secara jelas menginspirasi saya untuk terus maju apapun halangannya.
Sekali lagi, karena adanya mimpi. Mimpi-mimpi besar saya yang membuat saya bahagia. Saya hidup untuk mengejar mimpi, dan saya rasa hidup dimaksudkan untuk itu. Dari kecil saya terus didoktrin dan diberi persepsi untuk selalu optimis oleh keluarga saya, dan mereka berhasil. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita berniat untuk mengusahakannya. Untuk memantaskan diri atas mimpi-mimpi kita.
3. Apa yang akan saya lakukan agar saya merasa bahagia?
Mimpi-mimpi saya mengajarkan saya secara tidak langsung bahwa hidup ini sangat bermakna. Saya berkepribadian dan berlaku bagaimana adanya saat ini karena adanya dorongan untuk mencapai mimpi itu. Seperti yang telah saya ucapkan di atas, saya terus mengupayakan agar menjadi pantas bagi mimpi-mimpi saya, dan saya pun merasa bahagia untuk melakukannya, tanpa melenceng dari apa yang benar. Saya terus mencoba untuk berikhtiar di jalan-Nya.
Meyakini Allah selalu mendengar doa kita pun membuat saya bahagia, dan hal itu sudah banyak terbukti di dalam kehidupan saya. Di sini saya mengakui kuasa Allah atas semua hal yang terjadi kepada saya, karena saya mempercayai adanya Law of Attraction, adanya hukum tarik-menarik yang telah diturunkan kepada Allah untuk umatnya.
Hukum tarik-menarik disini sebenarnya tidak terjadi layaknya keajaiban seperti kedengarannya, melainkan sangat sederhana, dan sudah saya buktikan dari dulu. Jika kita menginginkan sesuatu, bayangkanlah hal itu terus-menerus, dan bahkan jika perlu bersenanglah seperti keinginan kita sudah terkabul. Ucapkan dalam doa, pikirkan sebelum tidur, batinkan kembali ketika bangun dari tidur. Bersungguh-sungguhlah dalam mengharapkan sesuatu, maka ilmiahnya, sadar ataupun tidak, Anda pun akan bertanggung jawab dalam mewujudkan keinginan Anda tanpa merasa tertekan dan sampai akhirnya takjub ketika menjadi nyata.
Dari dulu ketika saya ingin masuk SMP Negeri favorit, saya sungguh sangat menginginkannya, tapi apakah saya hanya berharap saja, lalu diam? Saya pun berusaha untuk memantaskan diri agar hal itu dapat terjadi, sehingga saya bisa rajin dalam belajar, sampai akhirnya keinginan itu tercapai. Hal itu pun terulang ketika saya ingin masuk SMA Negeri dan juga untuk berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekali lagi, sadar maupun tidak, jika kita benar-benar bersungguh-sungguh, apapun pasti dapat tercapai.
Namun ada satu hal disini yang saya perhatikan, jika keinginan kita mungkin tidak tercapai padahal kita sudah bersungguh-sungguh, yakini saja Allah sudah merencanakan sesuatu yang lebih baik dari apa yang sebenarnya kita inginkan, karena sesungguhnya jenis doa itu ada 3 macam: 1. Yang dikabulkan, 2. Yang ditunda, 3. Yang diganti dengan yang lebih baik lagi. Saya meyakini itu dan saya pun dapat hidup bahagia tanpa berlama-lama larut dalam kesedihan.
Intinya, jika kita optimis dalam memandang sesuatu dalam hidup, kita pun dapat melihat segala hikmah dari apapun yang terjadi. Itu yang orangtua saya ajarkan semenjak kecil, dan saya tetap memegang teguh kalimat-kalimat itu sampai sekarang, semata-mata agar saya dapat menjadi apa yang saya inginkan, dan supaya agar saya bahagia.
Monday, October 27, 2014
Thursday, October 16, 2014
Renjana
ada sepasang kasih
yang tidak takut gelap
karena gelap takut dengan percakapan gurau manja
sampai seberang
bahkan ketika pekat dimana bulan mati beristirahat
dan tak berbintang
mereka berjalan pulang bersama menuju muara
bertaruh siapa yang lebih lama
tanpa terang
tidak takut
karena terkadang dalam pola titinada kabutnya
mereka berbaring hanya dengan punggungnya
di tengah jalan gunduknya
memandang lurus sampai bintang kembali berkedip
kepada mereka
meniup bubuk biru
tanpa sendu
mengecup dingin karam
tanpa muram
membisik mantra magis
tanpa ringis
resah desah gelisah
rebah
ruang dan waktu
lupa dan tersesat
lupa dunia
terbawa aduk liukan malam
yang tidak takut gelap
karena gelap takut dengan percakapan gurau manja
sampai seberang
bahkan ketika pekat dimana bulan mati beristirahat
dan tak berbintang
mereka berjalan pulang bersama menuju muara
bertaruh siapa yang lebih lama
tanpa terang
tidak takut
karena terkadang dalam pola titinada kabutnya
mereka berbaring hanya dengan punggungnya
di tengah jalan gunduknya
memandang lurus sampai bintang kembali berkedip
kepada mereka
meniup bubuk biru
tanpa sendu
mengecup dingin karam
tanpa muram
membisik mantra magis
tanpa ringis
resah desah gelisah
rebah
ruang dan waktu
lupa dan tersesat
lupa dunia
terbawa aduk liukan malam
Friday, October 10, 2014
Ia
agviatri copyright
Hari itu sudah sore, namun langit masih biru terik, hanya setipis rebah kaca yang memisahkan udara panas gersang dan dingin sejuk di dalam sini. Suasana nyaman diselingi riuh rendah percakapan asing dan juga alunan tenang saxophone bernada tenor dari Joshua Redman yang dilantunkan lembut oleh speaker kecil di pojok langit ruangan, ditemani pumpkin spice latte dingin dengan sepiring kecil bagel berbalut krim keju, tak ayal coffee shop yang berada di keramaian pusat kota ini kujadikan tempat favoritku untuk menghindar sejenak dari kepenatan memapani hidup. Membuatku tak jarang berlebihan memikirkan; apakah surga kelak akan dapat lebih damai dari tempat ini?
Tak lama sebelum memutuskan untuk menyudahi sesi tenang ini, aku terpancing oleh tawa segerombol perempuan yang tak jauh dari tempat duduk nyamanku ini. Tiga orang, bukan, ada empat orang yang berkumpul di sana. Orang keempat yang hanya tertawa kecil nampaknya, gelaknya tak terdengar, hampir luput dari atensiku.
Matanya kecil merajuk dari kejauhan, indah separuh bidadarinya tak terhalang walaupun dilapisi kacamata berlensa tipis, dan, ya ampun, senyumnya membuatku hampir tersedak. Lengkung bulan rasanya tiada meneduhkan jika disaingi oleh sungging bibirnya, dihiasi kawat gigi merah arbei. Merah jambu bibir tipisnya, tampak baik menghasut manis beserta segar tirus pipinya, lucu bulat hidungnya, mungil tajam dagu yang membuat wajahnya menjadi oval telur angsa. Membuatku sedikit lemas seperti terbius karena terpana. Tuhan sekaliber sang seniman pasti dalam keadaan yang sangat serius ketika menguleni wajah cantiknya dulu.
Ia, ada yang spesial dari dirinya. Ada percikan yang dipancarkan darinya, tiba-tiba perutku serasa digelitik kupu-kupu yang mengambang gaduh dari dalam. Mungkin perasaan inilah yang dirasakan Adam ketika pertama kali melihat sosok Hawa dalam asri tentramnya surga.
-
Aku benar-benar tak bisa diam saja. Kuhampiri ia setelah merapihkan kerah, menyeka pergelangan tangan dan leherku memakai eau de cologne Starwalker dari Mont Blanc agar setidaknya bau asap rokok menjadi samar, dan membersihkan flat boots Red Wing hitamku dengan tisu basah khusus agar mengkilap dengan cepat.
Aku menyapanya dan teman-temannya lalu duduk di bangku sofa yang kosong di sebelahnya, menyalaminya, dan meminta namanya. Safira, katanya. Aku bilang pantas saja dia berkilau dari kejauhan. Ya, layaknya batu safir. Teman-temannya heboh menertawakan gombal norak yang telah sesal kuucapkan tadi. Tapi ia pun ikut tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Ya Tuhan, betapa senangku.
Kuperhatikan ia. Suaranya halus pelan tapi meyakinkan seperti tidak pernah ada dusta. Melihat gerak-geriknya sepertinya ia pemalu, membuatku tersenyum kala kupandang tingkahnya. Tubuhnya mengeluarkan harum vanila yang lembut mahal namun menyenangkan. Hijab pink fuscia-nya tertata anggun sederhana. Ia memakai blus rouge, juga terusan rok span sampai hampir mata kaki yang senada dengan wedges-nya.
Setelah basa-basi sekian menit, aku menanyakan nomor handphone-nya, berharap esok temu. Hingga akhirnya teman-temannya dan ia pamit lalu berdiri, aku dapat melihat tas kecil coklat yang digaet lengan kanannya bercorak puppies kecil. Seiring ia berjalan menjauh, aku juga dapat mendengar denting pelan genta-genta kecil dari gelang yang melekat di pergelangan kaki kirinya.
Safira namanya, kuucap pelan berkali-kali. Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah.
-
Kala itu di akhir minggu, aku berjanji untuk bertemu lagi dengannya di sudut taman kota. Aku berlari kecil sesampainya di muka taman karena sedikit telat, namun ketika dari jauh aku sudah dapat melihat ia yang sedang duduk memangku tas kecilnya sembari memandangi langit di bawah pohon cedar, langkahku menjadi pelan. Teguk sejuk bercampur sedikit rasa tegang menguasai diriku, hanya untuk mengetahui bahwa aku dinantikan olehnya.
Aku menyapanya dan langsung meminta maaf karena telat, dan seolah tak jadi masalah sama sekali, ia tersenyum. Aku sempat merasa silau, kaku untuk sedetik-dua detik, menjadikanku segera tahu kelemahanku. Agak gentar ketika aku mencoba untuk duduk di sampingnya.
Hari itu terasa sangat cepat, kusadari setelah melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu rumah yang ditutupnya. Aku sempat duduk lama terdiam untuk tersenyum membayangkannya kembali. Dari kencan pertamaku dengan ia yang tak lama, aku seperti sudah memahaminya betul. Ramah kalem layaknya tak pernah panik, ringan senyum, mudah tertawa. Ia juga pintar, diskusi beberapa hal yang serius dengannya sangat menyenangkan, menunjukkan dirinya mempunyai pikiran yang luas dan terbuka. Senang membaca novel fiksi, khususnya roman, dan juga buku ilmiah layaknya ilmu psikologi, astronomi, bahkan filsafat. Segala hal mengenainya yang berlawanan denganku tertutup pula dengan berbagai kesamaan yang tak sedikit.
Tak sampai hampir dua bulan semenjak itu, aku dan ia berpacaran. Berbagai tempat yang indah kami jelajahi, makanan lezat kami cicipi, momen-momen berharga kami alami bersama-sama. Sudah banyak waktu, tenaga, dan pikiranku dihabiskan untuk ia, tak pernah sedikit pun terlintas rasa lelah, bosan dan sia-sia menghampiri.
Aku mengerti ia sepenuhnya dan juga sebaliknya ia terhadapku, tapi kami berdua tidak percaya akan cinta apa adanya. Don't be yourself if you can be the best of yourself. Aku dan ia saling mengkoreksi, sama-sama mengingatkan apa yang perlu dibenarkan dari sikap, sifat, dan perilaku buruk yang kami yakin bisa diubah demi pribadi yang lebih baik, juga secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada hubungan kami. Aku bisa berhenti merokok, ia bisa membatasi gula yang berlebih pada minuman dan dessert-nya sebagai salah sepele duanya, tanpa memaksa, selalu dengan arti dukungan penuh untuk berubah.
Sampai tiba saatnya aku melamarnya, di bawah redup tentram sinar rembulan yang menembus masuk melalui jendela besar putih dalam sebuah restoran klasik bergaya renaissance yang berada di selatan kota, aku mengalunkan denting lembut dari Steinway Baby Grand Piano, turun satu oktaf kunyanyikan lagu Never Felt This Way dari Brian McKnight untuknya yang berdiri memegangi seikat mawar putih pemberianku, dihiasi cincin sakral permata putih yang melingkari jari manis kirinya, dengan rona senyum dan titik air yang mengalir pelan dari sudut matanya, tak jauh dariku..
Di hari pernikahan aku dan ia, tak akan pernah kulupa. Ia serba putih merona, mengembang merak sempurna saat itu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku bersanding dengannya, karena memang mustahil sebenarnya aku kuasa mendefinisikannya. Tersebab definisi lazimnya bertautan dengan logika, sementara cinta berurusan dengan jiwa. Sepasang jiwa yang telah terpaut lalu menyatu tanpa cela, tanpa cacat. Berkali-kali bisikku betapaku mencintai ia, dengan senyum yang memuai seperti selalu, ia membalasnya dengan meyakinkanku bahwa ia sepenuhnya milikku, dan aku adalah segalanya untuknya.
Inilah kami, terduduk di atas taburan bunga dengan remang magis menari-nari. Saling memandang malu, saling menunggu, siapa yang memulai pertama kali. Bubuk biru berkilauan ketika tiap kali kami berkedip, peluh kami tak pernah berhenti menjadi seakan kristal kecil dibuatnya. Ibarat untuk tahu dimana titik nolnya, kami harus bisa melihat bayang-bayang. Poros tersebut merupakan axis mundi. Digambarkan layaknya dalam pertemuan lingga yoni. Bersama-sama berusaha mencapainya dan kami takluk gempita saat berhasil menggapainya.
Lalu aku menantikan pagi yang diisi dengan memeluk dan menikmati sisa aroma tubuhnya. Ya, harum tengkuknya di ujung hidungku, halus uraian rambutnya membelai pejam mataku, hangat lembut perutnya di kedua tanganku yang mengait. Seperti aku ingin selamanya.
Tiap malam aku selalu menjadi pulang untuknya, lalu merebahkan kepala di pangkuannya, menceritakan hariku dengan usapan lembut tangannya mengurai rambutku. Melihatnya asyik di dapur, lalu memeluknya pelan dari belakang agar tidak mengganggu, diiringi kecup terima kasih. Menghabiskan malam yang tenang berdua di halaman rumah, berbaring mencoba menghitung jutaan bintang terang di atas langit. Diam-diamku berharap waktu berhenti.
Ia melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Kunamakan Mikayl dan Mikayla, dengan harapan pembawa kesejukan dan rizki selalu bagi tiap umat manusia.
Dalam mengasuh mereka, aku terkadang melihat sosok ibuku di sosoknya. Perasaan melindungi dari segala ancaman dan kasih sayang yang sempurna pada sang ibu terhadap sang anak membuatku takjub dan kagum terhadapnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh, satu kali pun, tak pernah. Segala tangisan dan rengekan ditanggapnya dengan senyum ikhlas dan penuh cinta. Inilah wanita hebat dalam artian yang sesungguhnya.
Anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang tampan dan cantik, juga cerdas. Aku menerapkan pengetahuan musik kepada mereka semenjak kecil, sedangkan ia membiasakan dan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan bagi mereka. Namun terkadang ada saatnya mereka berbuat nakal saat menyentuh usia remaja, tetap pengaruhnya dalam hal mendidik anak dengan upaya mengingatkan dan tegas mengubahnya sangat besar.
Waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kami sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah menjadi 'orang'. Rambut kami sudah mulai memutih, langkah kami sudah mulai memelan, tubuh kami sudah mulai membungkuk. Ada kalanya ia ingin diyakinkan bahwa dirinya masih cantik bagiku, masih disayangi seperti sedia kala. Aku selalu berucap kepadanya dengan mengelus pipi dan tepi bibirnya bahwa walaupun usia kami terus bertambah, fisik kami telah menua, aku akan tetap mencintainya sebagaimana ia yang kulihat terakhir kali tiap malam, dan ia yang kulihat pertama kali tiap pagi.
Momen yang sangat tak kuinginkan pun akhirnya datang. Tak ada tanda, tak ada firasat, ia terjatuh lemas di kala membersihkan rak buku. Aku menyesal karena sangat panik pada saat itu. Sempat bertahan statis selama dua minggu, ia mengalami masa-masa kritis, sampai akhirnya dokter menyatakan waktunya takkan lama lagi.
Di kala keluarga besar kami berkumpul, ia ingin disediakan waktu berdua denganku. Jari-jarinya memeluk jari-jariku. Senyumnya tetap menuai manis gula seperti biasa. Suara yang keluar dari mulutnya parau.
"Terima kasih karena kamu telah mengajakku berkenalan di coffee shop saat itu, sore itu. Jika tidak.."
Hanya itu, belum selesai. Lalu matanya terpejam pelan, tarikan nafas panjangnya terdengar sendu sengau untuk terakhir kalinya. Tangannya yang mengait jari-jemariku perlahan lemas lepas.
Kenangan-kenangan indah bersamanya secara tak sadar terbesit begitu saja.
Aku tertiba melihat bayang dalam terang dua sosok kami yang pernah berjalan di taman, memuji kicau burung.
Kami yang pernah menyamakan langkah kaki, kanan dulu lalu kiri.
Kami yang pernah duduk di pantai, membangun istana pasir yang lebih terlihat seperti kandang sapi.
Kami yang pernah bergandengan tangan, menggenggamnya erat lalu mengayunnya dengan pelan.
Kami yang pernah menonton film yang tak terhitung banyaknya di kamar, dengan kepalanya yang selalu bersandar di dadaku.
Kami yang pernah mendaki gunung, juga menyelami biru laut.
Kami yang pernah tertawa karena aku terbangun kaget dengan suara dengkurku sendiri.
Kami yang pernah bertengkar karena perbedaan pendapat.
Kami yang pernah menangis karena anak kami tertimpa kecelakaan.
Kami yang pernah bermimpi. Dan kami yang pernah memberikan nama kepada bintang-gemintang.
Perasaan kalut mengharu-biru menguasai diriku. Sesak rasanya menusuk-nusuk dadaku. Tak ada udara yang bisa kuhisap. Membayangkan akan ditinggalkan olehnya dulu tak sepecah ini.
Ia sesungguhnya adalah landasan eksistensial kehadiranku. Aku dan ia saling memberi makna. Seandainya ia dimanipulasi olehku maka hakikatnya aku tengah mengkhianati diri sendiri, menghilangkan jejak makna dari jagat diri. Ia adalah modus wujudiah mengadanya aku sebagaimana aku menjadi alasan bagi kehadirannya.
Ia, wanita luar biasa. Karena ia, aku merasakan cinta Sang Pencipta melalui cintanya. Kasih sayangnya yang kurasakan tulus dan sangat besar tak pelak buatku bersyukur telah menjadi ciptaan Tuhan yang paling berbahagia di pelupuk bumi ini.
Sekarang dia tenggelam untuk terbit bersinar menjadi salah satu dari terang-benderang bintang jauh berjarak lain ruang dan waktu, memandangi pohon keluarganya yang akan terus tumbuh besar abadi dengan senyum alang rindunya yang terus berkedip kilau menghiasi wajahnya.
-
Aku tersentak kejut ketika handphone di sakuku bergetar. Terusan e-mail materi presentasi untuk membahas jalan keluar dari fluktuasi nilai dagang perusahaan tempatku bekerja, kasar menyuruhku segera berbenah pulang untuk mengerjakannya.
Langit sudah mulai meredup menjadi jingga terang, terdengar riuh rendah percakapan asing sudah mulai sepi, musik yang dialunkan dari speaker kecil di sudut langit ruangan berganti menjadi hip-hop yang tak pernah kudengar. Gelas plastik tinggi di depanku sudah tak berembun dingin, di piring kecil hanya tersisa remah-remah bagel coklat muda. Ah! Mendadak kupalingkan wajahku menuju tempat dimana ia berada tadi. Ia sudah tidak ada.
Aku memutarkan posisi tubuhku demi mencari dimana ia, hanya untuk melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Sepertinya ia sudah beranjak pergi dari lama tanpa sadarku.
Aku bergegas keluar dari coffee shop ini sembari meremas kesal lenganku. Tak pernah sesesal ini sebelumnya. Hanya berani tersesat dalam khayal. Imaji yang terkonsep matang dan terlukis sempurna tersembunyi di balik sepasang mata namun urung dituangkan dalam lembaran kertas yang belum terisi bernamakan suratan nasib masa depan. Sekarang tak ada guna menyumpahi diri sendiri atas kesempatan yang tidak diambil, kemungkinan cipta hubungan yang ditakuti bahkan untuk mengusahakannya terlebih dulu, dan keputusan yang terlalu lama untuk diputuskan.
Apa karena tanpa sadar aku merasa tidak pantas untuknya? Apa mungkin aku tak lebih dari pengecut yang tak berani berusaha lantas memikirkan rasionalisasi sebelumnya? Atau apakah memang takdir seorang diri ini memang tak segaris lurus dengan ia?
Pikiranku segera berhenti camuk ketika melihat ia dari samping yang mendongak pandang menuju papan nomor-nomor yang berganti pelan. Ia sedang menunggu lift.
Jantungku serasa terjun bebas menuju lantai. Aku menggenggam erat tas jinjingku agar tidak ikut juga terjatuh ke lantai. Ragu menghampiriku kembali tak lama sebelum aku menepisnya jauh. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang untuk ketiga atau keempat kalinya kecuali mukjizat. Hubungan yang mungkin terjadi dengan semua harmoni dengan iring simfoninya akan melampaui sekedar dunia khayal. Keputusan yang mungkin akan merubah hidupku untuk segalanya dan selama-lamanya.
Tarik nafas, pelan hembuskan. Kuhampiri dan kusapa ia..
"Hai."
Ia menoleh mencari sumber suara, lalu menatap mataku. Ia membalasnya, dan tersenyum.
Ya, dengan senyum alang rindunya, yang menuai manis gula, yang memuai seperti selalu, yang mengalahkan teduh lengkung bulan.
*
Started in Bandung at the end of July, completed in South Tangerang on Friday, October 10th 2014, 04.50 AM.
Matanya kecil merajuk dari kejauhan, indah separuh bidadarinya tak terhalang walaupun dilapisi kacamata berlensa tipis, dan, ya ampun, senyumnya membuatku hampir tersedak. Lengkung bulan rasanya tiada meneduhkan jika disaingi oleh sungging bibirnya, dihiasi kawat gigi merah arbei. Merah jambu bibir tipisnya, tampak baik menghasut manis beserta segar tirus pipinya, lucu bulat hidungnya, mungil tajam dagu yang membuat wajahnya menjadi oval telur angsa. Membuatku sedikit lemas seperti terbius karena terpana. Tuhan sekaliber sang seniman pasti dalam keadaan yang sangat serius ketika menguleni wajah cantiknya dulu.
Ia, ada yang spesial dari dirinya. Ada percikan yang dipancarkan darinya, tiba-tiba perutku serasa digelitik kupu-kupu yang mengambang gaduh dari dalam. Mungkin perasaan inilah yang dirasakan Adam ketika pertama kali melihat sosok Hawa dalam asri tentramnya surga.
-
Aku benar-benar tak bisa diam saja. Kuhampiri ia setelah merapihkan kerah, menyeka pergelangan tangan dan leherku memakai eau de cologne Starwalker dari Mont Blanc agar setidaknya bau asap rokok menjadi samar, dan membersihkan flat boots Red Wing hitamku dengan tisu basah khusus agar mengkilap dengan cepat.
Aku menyapanya dan teman-temannya lalu duduk di bangku sofa yang kosong di sebelahnya, menyalaminya, dan meminta namanya. Safira, katanya. Aku bilang pantas saja dia berkilau dari kejauhan. Ya, layaknya batu safir. Teman-temannya heboh menertawakan gombal norak yang telah sesal kuucapkan tadi. Tapi ia pun ikut tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Ya Tuhan, betapa senangku.
Kuperhatikan ia. Suaranya halus pelan tapi meyakinkan seperti tidak pernah ada dusta. Melihat gerak-geriknya sepertinya ia pemalu, membuatku tersenyum kala kupandang tingkahnya. Tubuhnya mengeluarkan harum vanila yang lembut mahal namun menyenangkan. Hijab pink fuscia-nya tertata anggun sederhana. Ia memakai blus rouge, juga terusan rok span sampai hampir mata kaki yang senada dengan wedges-nya.
Setelah basa-basi sekian menit, aku menanyakan nomor handphone-nya, berharap esok temu. Hingga akhirnya teman-temannya dan ia pamit lalu berdiri, aku dapat melihat tas kecil coklat yang digaet lengan kanannya bercorak puppies kecil. Seiring ia berjalan menjauh, aku juga dapat mendengar denting pelan genta-genta kecil dari gelang yang melekat di pergelangan kaki kirinya.
Safira namanya, kuucap pelan berkali-kali. Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah.
-
Kala itu di akhir minggu, aku berjanji untuk bertemu lagi dengannya di sudut taman kota. Aku berlari kecil sesampainya di muka taman karena sedikit telat, namun ketika dari jauh aku sudah dapat melihat ia yang sedang duduk memangku tas kecilnya sembari memandangi langit di bawah pohon cedar, langkahku menjadi pelan. Teguk sejuk bercampur sedikit rasa tegang menguasai diriku, hanya untuk mengetahui bahwa aku dinantikan olehnya.
Aku menyapanya dan langsung meminta maaf karena telat, dan seolah tak jadi masalah sama sekali, ia tersenyum. Aku sempat merasa silau, kaku untuk sedetik-dua detik, menjadikanku segera tahu kelemahanku. Agak gentar ketika aku mencoba untuk duduk di sampingnya.
Hari itu terasa sangat cepat, kusadari setelah melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu rumah yang ditutupnya. Aku sempat duduk lama terdiam untuk tersenyum membayangkannya kembali. Dari kencan pertamaku dengan ia yang tak lama, aku seperti sudah memahaminya betul. Ramah kalem layaknya tak pernah panik, ringan senyum, mudah tertawa. Ia juga pintar, diskusi beberapa hal yang serius dengannya sangat menyenangkan, menunjukkan dirinya mempunyai pikiran yang luas dan terbuka. Senang membaca novel fiksi, khususnya roman, dan juga buku ilmiah layaknya ilmu psikologi, astronomi, bahkan filsafat. Segala hal mengenainya yang berlawanan denganku tertutup pula dengan berbagai kesamaan yang tak sedikit.
Tak sampai hampir dua bulan semenjak itu, aku dan ia berpacaran. Berbagai tempat yang indah kami jelajahi, makanan lezat kami cicipi, momen-momen berharga kami alami bersama-sama. Sudah banyak waktu, tenaga, dan pikiranku dihabiskan untuk ia, tak pernah sedikit pun terlintas rasa lelah, bosan dan sia-sia menghampiri.
Aku mengerti ia sepenuhnya dan juga sebaliknya ia terhadapku, tapi kami berdua tidak percaya akan cinta apa adanya. Don't be yourself if you can be the best of yourself. Aku dan ia saling mengkoreksi, sama-sama mengingatkan apa yang perlu dibenarkan dari sikap, sifat, dan perilaku buruk yang kami yakin bisa diubah demi pribadi yang lebih baik, juga secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada hubungan kami. Aku bisa berhenti merokok, ia bisa membatasi gula yang berlebih pada minuman dan dessert-nya sebagai salah sepele duanya, tanpa memaksa, selalu dengan arti dukungan penuh untuk berubah.
Sampai tiba saatnya aku melamarnya, di bawah redup tentram sinar rembulan yang menembus masuk melalui jendela besar putih dalam sebuah restoran klasik bergaya renaissance yang berada di selatan kota, aku mengalunkan denting lembut dari Steinway Baby Grand Piano, turun satu oktaf kunyanyikan lagu Never Felt This Way dari Brian McKnight untuknya yang berdiri memegangi seikat mawar putih pemberianku, dihiasi cincin sakral permata putih yang melingkari jari manis kirinya, dengan rona senyum dan titik air yang mengalir pelan dari sudut matanya, tak jauh dariku..
"..when I look into your eyes, then I realize
That all I need is you, all I need is you in my life
'cause I never felt this way about lovin'
Never felt so good.."
Di hari pernikahan aku dan ia, tak akan pernah kulupa. Ia serba putih merona, mengembang merak sempurna saat itu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku bersanding dengannya, karena memang mustahil sebenarnya aku kuasa mendefinisikannya. Tersebab definisi lazimnya bertautan dengan logika, sementara cinta berurusan dengan jiwa. Sepasang jiwa yang telah terpaut lalu menyatu tanpa cela, tanpa cacat. Berkali-kali bisikku betapaku mencintai ia, dengan senyum yang memuai seperti selalu, ia membalasnya dengan meyakinkanku bahwa ia sepenuhnya milikku, dan aku adalah segalanya untuknya.
Inilah kami, terduduk di atas taburan bunga dengan remang magis menari-nari. Saling memandang malu, saling menunggu, siapa yang memulai pertama kali. Bubuk biru berkilauan ketika tiap kali kami berkedip, peluh kami tak pernah berhenti menjadi seakan kristal kecil dibuatnya. Ibarat untuk tahu dimana titik nolnya, kami harus bisa melihat bayang-bayang. Poros tersebut merupakan axis mundi. Digambarkan layaknya dalam pertemuan lingga yoni. Bersama-sama berusaha mencapainya dan kami takluk gempita saat berhasil menggapainya.
Lalu aku menantikan pagi yang diisi dengan memeluk dan menikmati sisa aroma tubuhnya. Ya, harum tengkuknya di ujung hidungku, halus uraian rambutnya membelai pejam mataku, hangat lembut perutnya di kedua tanganku yang mengait. Seperti aku ingin selamanya.
Tiap malam aku selalu menjadi pulang untuknya, lalu merebahkan kepala di pangkuannya, menceritakan hariku dengan usapan lembut tangannya mengurai rambutku. Melihatnya asyik di dapur, lalu memeluknya pelan dari belakang agar tidak mengganggu, diiringi kecup terima kasih. Menghabiskan malam yang tenang berdua di halaman rumah, berbaring mencoba menghitung jutaan bintang terang di atas langit. Diam-diamku berharap waktu berhenti.
Ia melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Kunamakan Mikayl dan Mikayla, dengan harapan pembawa kesejukan dan rizki selalu bagi tiap umat manusia.
Dalam mengasuh mereka, aku terkadang melihat sosok ibuku di sosoknya. Perasaan melindungi dari segala ancaman dan kasih sayang yang sempurna pada sang ibu terhadap sang anak membuatku takjub dan kagum terhadapnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh, satu kali pun, tak pernah. Segala tangisan dan rengekan ditanggapnya dengan senyum ikhlas dan penuh cinta. Inilah wanita hebat dalam artian yang sesungguhnya.
Anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang tampan dan cantik, juga cerdas. Aku menerapkan pengetahuan musik kepada mereka semenjak kecil, sedangkan ia membiasakan dan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan bagi mereka. Namun terkadang ada saatnya mereka berbuat nakal saat menyentuh usia remaja, tetap pengaruhnya dalam hal mendidik anak dengan upaya mengingatkan dan tegas mengubahnya sangat besar.
Waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kami sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah menjadi 'orang'. Rambut kami sudah mulai memutih, langkah kami sudah mulai memelan, tubuh kami sudah mulai membungkuk. Ada kalanya ia ingin diyakinkan bahwa dirinya masih cantik bagiku, masih disayangi seperti sedia kala. Aku selalu berucap kepadanya dengan mengelus pipi dan tepi bibirnya bahwa walaupun usia kami terus bertambah, fisik kami telah menua, aku akan tetap mencintainya sebagaimana ia yang kulihat terakhir kali tiap malam, dan ia yang kulihat pertama kali tiap pagi.
Momen yang sangat tak kuinginkan pun akhirnya datang. Tak ada tanda, tak ada firasat, ia terjatuh lemas di kala membersihkan rak buku. Aku menyesal karena sangat panik pada saat itu. Sempat bertahan statis selama dua minggu, ia mengalami masa-masa kritis, sampai akhirnya dokter menyatakan waktunya takkan lama lagi.
Di kala keluarga besar kami berkumpul, ia ingin disediakan waktu berdua denganku. Jari-jarinya memeluk jari-jariku. Senyumnya tetap menuai manis gula seperti biasa. Suara yang keluar dari mulutnya parau.
"Terima kasih karena kamu telah mengajakku berkenalan di coffee shop saat itu, sore itu. Jika tidak.."
Hanya itu, belum selesai. Lalu matanya terpejam pelan, tarikan nafas panjangnya terdengar sendu sengau untuk terakhir kalinya. Tangannya yang mengait jari-jemariku perlahan lemas lepas.
Kenangan-kenangan indah bersamanya secara tak sadar terbesit begitu saja.
Aku tertiba melihat bayang dalam terang dua sosok kami yang pernah berjalan di taman, memuji kicau burung.
Kami yang pernah menyamakan langkah kaki, kanan dulu lalu kiri.
Kami yang pernah duduk di pantai, membangun istana pasir yang lebih terlihat seperti kandang sapi.
Kami yang pernah bergandengan tangan, menggenggamnya erat lalu mengayunnya dengan pelan.
Kami yang pernah menonton film yang tak terhitung banyaknya di kamar, dengan kepalanya yang selalu bersandar di dadaku.
Kami yang pernah mendaki gunung, juga menyelami biru laut.
Kami yang pernah tertawa karena aku terbangun kaget dengan suara dengkurku sendiri.
Kami yang pernah bertengkar karena perbedaan pendapat.
Kami yang pernah menangis karena anak kami tertimpa kecelakaan.
Kami yang pernah bermimpi. Dan kami yang pernah memberikan nama kepada bintang-gemintang.
Perasaan kalut mengharu-biru menguasai diriku. Sesak rasanya menusuk-nusuk dadaku. Tak ada udara yang bisa kuhisap. Membayangkan akan ditinggalkan olehnya dulu tak sepecah ini.
Ia sesungguhnya adalah landasan eksistensial kehadiranku. Aku dan ia saling memberi makna. Seandainya ia dimanipulasi olehku maka hakikatnya aku tengah mengkhianati diri sendiri, menghilangkan jejak makna dari jagat diri. Ia adalah modus wujudiah mengadanya aku sebagaimana aku menjadi alasan bagi kehadirannya.
Ia, wanita luar biasa. Karena ia, aku merasakan cinta Sang Pencipta melalui cintanya. Kasih sayangnya yang kurasakan tulus dan sangat besar tak pelak buatku bersyukur telah menjadi ciptaan Tuhan yang paling berbahagia di pelupuk bumi ini.
Sekarang dia tenggelam untuk terbit bersinar menjadi salah satu dari terang-benderang bintang jauh berjarak lain ruang dan waktu, memandangi pohon keluarganya yang akan terus tumbuh besar abadi dengan senyum alang rindunya yang terus berkedip kilau menghiasi wajahnya.
-
Aku tersentak kejut ketika handphone di sakuku bergetar. Terusan e-mail materi presentasi untuk membahas jalan keluar dari fluktuasi nilai dagang perusahaan tempatku bekerja, kasar menyuruhku segera berbenah pulang untuk mengerjakannya.
Langit sudah mulai meredup menjadi jingga terang, terdengar riuh rendah percakapan asing sudah mulai sepi, musik yang dialunkan dari speaker kecil di sudut langit ruangan berganti menjadi hip-hop yang tak pernah kudengar. Gelas plastik tinggi di depanku sudah tak berembun dingin, di piring kecil hanya tersisa remah-remah bagel coklat muda. Ah! Mendadak kupalingkan wajahku menuju tempat dimana ia berada tadi. Ia sudah tidak ada.
Aku memutarkan posisi tubuhku demi mencari dimana ia, hanya untuk melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Sepertinya ia sudah beranjak pergi dari lama tanpa sadarku.
Aku bergegas keluar dari coffee shop ini sembari meremas kesal lenganku. Tak pernah sesesal ini sebelumnya. Hanya berani tersesat dalam khayal. Imaji yang terkonsep matang dan terlukis sempurna tersembunyi di balik sepasang mata namun urung dituangkan dalam lembaran kertas yang belum terisi bernamakan suratan nasib masa depan. Sekarang tak ada guna menyumpahi diri sendiri atas kesempatan yang tidak diambil, kemungkinan cipta hubungan yang ditakuti bahkan untuk mengusahakannya terlebih dulu, dan keputusan yang terlalu lama untuk diputuskan.
Apa karena tanpa sadar aku merasa tidak pantas untuknya? Apa mungkin aku tak lebih dari pengecut yang tak berani berusaha lantas memikirkan rasionalisasi sebelumnya? Atau apakah memang takdir seorang diri ini memang tak segaris lurus dengan ia?
Pikiranku segera berhenti camuk ketika melihat ia dari samping yang mendongak pandang menuju papan nomor-nomor yang berganti pelan. Ia sedang menunggu lift.
Jantungku serasa terjun bebas menuju lantai. Aku menggenggam erat tas jinjingku agar tidak ikut juga terjatuh ke lantai. Ragu menghampiriku kembali tak lama sebelum aku menepisnya jauh. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang untuk ketiga atau keempat kalinya kecuali mukjizat. Hubungan yang mungkin terjadi dengan semua harmoni dengan iring simfoninya akan melampaui sekedar dunia khayal. Keputusan yang mungkin akan merubah hidupku untuk segalanya dan selama-lamanya.
Tarik nafas, pelan hembuskan. Kuhampiri dan kusapa ia..
"Hai."
Ia menoleh mencari sumber suara, lalu menatap mataku. Ia membalasnya, dan tersenyum.
Ya, dengan senyum alang rindunya, yang menuai manis gula, yang memuai seperti selalu, yang mengalahkan teduh lengkung bulan.
*
Started in Bandung at the end of July, completed in South Tangerang on Friday, October 10th 2014, 04.50 AM.
Subscribe to:
Posts (Atom)