Friday, October 10, 2014

Ia

agviatri copyright

Hari itu sudah sore, namun langit masih biru terik, hanya setipis rebah kaca yang memisahkan udara panas gersang dan dingin sejuk di dalam sini. Suasana nyaman diselingi riuh rendah percakapan asing dan juga alunan tenang saxophone bernada tenor dari Joshua Redman yang dilantunkan lembut oleh speaker kecil di pojok langit ruangan, ditemani pumpkin spice latte dingin dengan sepiring kecil bagel berbalut krim keju, tak ayal coffee shop yang berada di keramaian pusat kota ini kujadikan tempat favoritku untuk menghindar sejenak dari kepenatan memapani hidup. Membuatku tak jarang berlebihan memikirkan; apakah surga kelak akan dapat lebih damai dari tempat ini?

Tak lama sebelum memutuskan untuk menyudahi sesi tenang ini, aku terpancing oleh tawa segerombol perempuan yang tak jauh dari tempat duduk nyamanku ini. Tiga orang, bukan, ada empat orang yang berkumpul di sana. Orang keempat yang hanya tertawa kecil nampaknya, gelaknya tak terdengar, hampir luput dari atensiku.

Matanya kecil merajuk dari kejauhan, indah separuh bidadarinya tak terhalang walaupun dilapisi kacamata berlensa tipis, dan, ya ampun, senyumnya membuatku hampir tersedak. Lengkung bulan rasanya tiada meneduhkan jika disaingi oleh sungging bibirnya, dihiasi kawat gigi merah arbei. Merah jambu bibir tipisnya, tampak baik menghasut manis beserta segar tirus pipinya, lucu bulat hidungnya, mungil tajam dagu yang membuat wajahnya menjadi oval telur angsa. Membuatku sedikit lemas seperti terbius karena terpana. Tuhan sekaliber sang seniman pasti dalam keadaan yang sangat serius ketika menguleni wajah cantiknya dulu.

Ia, ada yang spesial dari dirinya. Ada percikan yang dipancarkan darinya, tiba-tiba perutku serasa digelitik kupu-kupu yang mengambang gaduh dari dalam. Mungkin perasaan inilah yang dirasakan Adam ketika pertama kali melihat sosok Hawa dalam asri tentramnya surga.

-

Aku benar-benar tak bisa diam saja. Kuhampiri ia setelah merapihkan kerah, menyeka pergelangan tangan dan leherku memakai eau de cologne Starwalker dari Mont Blanc agar setidaknya bau asap rokok menjadi samar, dan membersihkan flat boots Red Wing hitamku dengan tisu basah khusus agar mengkilap dengan cepat.

Aku menyapanya dan teman-temannya lalu duduk di bangku sofa yang kosong di sebelahnya, menyalaminya, dan meminta namanya. Safira, katanya. Aku bilang pantas saja dia berkilau dari kejauhan. Ya, layaknya batu safir. Teman-temannya heboh menertawakan gombal norak yang telah sesal kuucapkan tadi. Tapi ia pun ikut tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Ya Tuhan, betapa senangku.

Kuperhatikan ia. Suaranya halus pelan tapi meyakinkan seperti tidak pernah ada dusta. Melihat gerak-geriknya sepertinya ia pemalu, membuatku tersenyum kala kupandang tingkahnya. Tubuhnya mengeluarkan harum vanila yang lembut mahal namun menyenangkan. Hijab pink fuscia-nya tertata anggun sederhana. Ia memakai blus rouge, juga terusan rok span sampai hampir mata kaki yang senada dengan wedges-nya.

Setelah basa-basi sekian menit, aku menanyakan nomor handphone-nya, berharap esok temu. Hingga akhirnya teman-temannya dan ia pamit lalu berdiri, aku dapat melihat tas kecil coklat yang digaet lengan kanannya bercorak puppies kecil. Seiring ia berjalan menjauh, aku juga dapat mendengar denting pelan genta-genta kecil dari gelang yang melekat di pergelangan kaki kirinya.

Safira namanya, kuucap pelan berkali-kali. Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah.

-

Kala itu di akhir minggu, aku berjanji untuk bertemu lagi dengannya di sudut taman kota. Aku berlari kecil sesampainya di muka taman karena sedikit telat, namun ketika dari jauh aku sudah dapat melihat ia yang sedang duduk memangku tas kecilnya sembari memandangi langit di bawah pohon cedar, langkahku menjadi pelan. Teguk sejuk bercampur sedikit rasa tegang menguasai diriku, hanya untuk mengetahui bahwa aku dinantikan olehnya.

Aku menyapanya dan langsung meminta maaf karena telat, dan seolah tak jadi masalah sama sekali, ia tersenyum. Aku sempat merasa silau, kaku untuk sedetik-dua detik, menjadikanku segera tahu kelemahanku. Agak gentar ketika aku mencoba untuk duduk di sampingnya.

Hari itu terasa sangat cepat, kusadari setelah melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu rumah yang ditutupnya. Aku sempat duduk lama terdiam untuk tersenyum membayangkannya kembali. Dari kencan pertamaku dengan ia yang tak lama, aku seperti sudah memahaminya betul. Ramah kalem layaknya tak pernah panik, ringan senyum, mudah tertawa. Ia juga pintar, diskusi beberapa hal yang serius dengannya sangat menyenangkan, menunjukkan dirinya mempunyai pikiran yang luas dan terbuka. Senang membaca novel fiksi, khususnya roman, dan juga buku ilmiah layaknya ilmu psikologi, astronomi, bahkan filsafat. Segala hal mengenainya yang berlawanan denganku tertutup pula dengan berbagai kesamaan yang tak sedikit.

Tak sampai hampir dua bulan semenjak itu, aku dan ia berpacaran. Berbagai tempat yang indah kami jelajahi, makanan lezat kami cicipi, momen-momen berharga kami alami bersama-sama. Sudah banyak waktu, tenaga, dan pikiranku dihabiskan untuk ia, tak pernah sedikit pun terlintas rasa lelah, bosan dan sia-sia menghampiri.

Aku mengerti ia sepenuhnya dan juga sebaliknya ia terhadapku, tapi kami berdua tidak percaya akan cinta apa adanya. Don't be yourself if you can be the best of yourself. Aku dan ia saling mengkoreksi, sama-sama mengingatkan apa yang perlu dibenarkan dari sikap, sifat, dan perilaku buruk yang kami yakin bisa diubah demi pribadi yang lebih baik, juga secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada hubungan kami. Aku bisa berhenti merokok, ia bisa membatasi gula yang berlebih pada minuman dan dessert-nya sebagai salah sepele duanya, tanpa memaksa, selalu dengan arti dukungan penuh untuk berubah.

Sampai tiba saatnya aku melamarnya, di bawah redup tentram sinar rembulan yang menembus masuk melalui jendela besar putih dalam sebuah restoran klasik bergaya renaissance yang berada di selatan kota, aku mengalunkan denting lembut dari Steinway Baby Grand Piano, turun satu oktaf kunyanyikan lagu Never Felt This Way dari Brian McKnight untuknya yang berdiri memegangi seikat mawar putih pemberianku, dihiasi cincin sakral permata putih yang melingkari jari manis kirinya, dengan rona senyum dan titik air yang mengalir pelan dari sudut matanya, tak jauh dariku..

"..when I look into your eyes, then I realize
That all I need is you, all I need is you in my life
'cause I never felt this way about lovin'
Never felt so good.."

Di hari pernikahan aku dan ia, tak akan pernah kulupa. Ia serba putih merona, mengembang merak sempurna saat itu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku bersanding dengannya, karena memang mustahil sebenarnya aku kuasa mendefinisikannya. Tersebab definisi lazimnya bertautan dengan logika, sementara cinta berurusan dengan jiwa. Sepasang jiwa yang telah terpaut lalu menyatu tanpa cela, tanpa cacat. Berkali-kali bisikku betapaku mencintai ia, dengan senyum yang memuai seperti selalu, ia membalasnya dengan meyakinkanku bahwa ia sepenuhnya milikku, dan aku adalah segalanya untuknya.

Inilah kami, terduduk di atas taburan bunga dengan remang magis menari-nari. Saling memandang malu, saling menunggu, siapa yang memulai pertama kali. Bubuk biru berkilauan ketika tiap kali kami berkedip, peluh kami tak pernah berhenti menjadi seakan kristal kecil dibuatnya. Ibarat untuk tahu dimana titik nolnya, kami harus bisa melihat bayang-bayang. Poros tersebut merupakan axis mundi. Digambarkan layaknya dalam pertemuan lingga yoni. Bersama-sama berusaha mencapainya dan kami takluk gempita saat berhasil menggapainya.

Lalu aku menantikan pagi yang diisi dengan memeluk dan menikmati sisa aroma tubuhnya. Ya, harum tengkuknya di ujung hidungku, halus uraian rambutnya membelai pejam mataku, hangat lembut perutnya di kedua tanganku yang mengait. Seperti aku ingin selamanya.

Tiap malam aku selalu menjadi pulang untuknya, lalu merebahkan kepala di pangkuannya, menceritakan hariku dengan usapan lembut tangannya mengurai rambutku. Melihatnya asyik di dapur, lalu memeluknya pelan dari belakang agar tidak mengganggu, diiringi kecup terima kasih. Menghabiskan malam yang tenang berdua di halaman rumah, berbaring mencoba menghitung jutaan bintang terang di atas langit. Diam-diamku berharap waktu berhenti.

Ia melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Kunamakan Mikayl dan Mikayla, dengan harapan pembawa kesejukan dan rizki selalu bagi tiap umat manusia.

Dalam mengasuh mereka, aku terkadang melihat sosok ibuku di sosoknya. Perasaan melindungi dari segala ancaman dan kasih sayang yang sempurna pada sang ibu terhadap sang anak membuatku takjub dan kagum terhadapnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh, satu kali pun, tak pernah. Segala tangisan dan rengekan ditanggapnya dengan senyum ikhlas dan penuh cinta. Inilah wanita hebat dalam artian yang sesungguhnya.

Anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang tampan dan cantik, juga cerdas. Aku menerapkan pengetahuan musik kepada mereka semenjak kecil, sedangkan ia membiasakan dan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan bagi mereka. Namun terkadang ada saatnya mereka berbuat nakal saat menyentuh usia remaja, tetap pengaruhnya dalam hal mendidik anak dengan upaya mengingatkan dan tegas mengubahnya sangat besar.

Waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kami sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah menjadi 'orang'. Rambut kami sudah mulai memutih, langkah kami sudah mulai memelan, tubuh kami sudah mulai membungkuk. Ada kalanya ia ingin diyakinkan bahwa dirinya masih cantik bagiku, masih disayangi seperti sedia kala. Aku selalu berucap kepadanya dengan mengelus pipi dan tepi bibirnya bahwa walaupun usia kami terus bertambah, fisik kami telah menua, aku akan tetap mencintainya sebagaimana ia yang kulihat terakhir kali tiap malam, dan ia yang kulihat pertama kali tiap pagi.

Momen yang sangat tak kuinginkan pun akhirnya datang. Tak ada tanda, tak ada firasat, ia terjatuh lemas di kala membersihkan rak buku. Aku menyesal karena sangat panik pada saat itu. Sempat bertahan statis selama dua minggu, ia mengalami masa-masa kritis, sampai akhirnya dokter menyatakan waktunya takkan lama lagi.

Di kala keluarga besar kami berkumpul, ia ingin disediakan waktu berdua denganku. Jari-jarinya memeluk jari-jariku. Senyumnya tetap menuai manis gula seperti biasa. Suara yang keluar dari mulutnya parau.

"Terima kasih karena kamu telah mengajakku berkenalan di coffee shop saat itu, sore itu. Jika tidak.."

Hanya itu, belum selesai. Lalu matanya terpejam pelan, tarikan nafas panjangnya terdengar sendu sengau untuk terakhir kalinya. Tangannya yang mengait jari-jemariku perlahan lemas lepas.

Kenangan-kenangan indah bersamanya secara tak sadar terbesit begitu saja.

Aku tertiba melihat bayang dalam terang dua sosok kami yang pernah berjalan di taman, memuji kicau burung.
Kami yang pernah menyamakan langkah kaki, kanan dulu lalu kiri.
Kami yang pernah duduk di pantai, membangun istana pasir yang lebih terlihat seperti kandang sapi.
Kami yang pernah bergandengan tangan, menggenggamnya erat lalu mengayunnya dengan pelan.
Kami yang pernah menonton film yang tak terhitung banyaknya di kamar, dengan kepalanya yang selalu bersandar di dadaku.
Kami yang pernah mendaki gunung, juga menyelami biru laut.
Kami yang pernah tertawa karena aku terbangun kaget dengan suara dengkurku sendiri.
Kami yang pernah bertengkar karena perbedaan pendapat.
Kami yang pernah menangis karena anak kami tertimpa kecelakaan.

Kami yang pernah bermimpi. Dan kami yang pernah memberikan nama kepada bintang-gemintang.

Perasaan kalut mengharu-biru menguasai diriku. Sesak rasanya menusuk-nusuk dadaku. Tak ada udara yang bisa kuhisap. Membayangkan akan ditinggalkan olehnya dulu tak sepecah ini.

Ia sesungguhnya adalah landasan eksistensial kehadiranku. Aku dan ia saling memberi makna. Seandainya ia dimanipulasi olehku maka hakikatnya aku tengah mengkhianati diri sendiri, menghilangkan jejak makna dari jagat diri. Ia adalah modus wujudiah mengadanya aku sebagaimana aku menjadi alasan bagi kehadirannya.

Ia, wanita luar biasa. Karena ia, aku merasakan cinta Sang Pencipta melalui cintanya. Kasih sayangnya yang kurasakan tulus dan sangat besar tak pelak buatku bersyukur telah menjadi ciptaan Tuhan yang paling berbahagia di pelupuk bumi ini.

Sekarang dia tenggelam untuk terbit bersinar menjadi salah satu dari terang-benderang bintang jauh berjarak lain ruang dan waktu, memandangi pohon keluarganya yang akan terus tumbuh besar abadi dengan senyum alang rindunya yang terus berkedip kilau menghiasi wajahnya.

-

Aku tersentak kejut ketika handphone di sakuku bergetar. Terusan e-mail materi presentasi untuk membahas jalan keluar dari fluktuasi nilai dagang perusahaan tempatku bekerja, kasar menyuruhku segera berbenah pulang untuk mengerjakannya.

Langit sudah mulai meredup menjadi jingga terang, terdengar riuh rendah percakapan asing sudah mulai sepi, musik yang dialunkan dari speaker kecil di sudut langit ruangan berganti menjadi hip-hop yang tak pernah kudengar. Gelas plastik tinggi di depanku sudah tak berembun dingin, di piring kecil hanya tersisa remah-remah bagel coklat muda. Ah! Mendadak kupalingkan wajahku menuju tempat dimana ia berada tadi. Ia sudah tidak ada.

Aku memutarkan posisi tubuhku demi mencari dimana ia, hanya untuk melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Sepertinya ia sudah beranjak pergi dari lama tanpa sadarku.

Aku bergegas keluar dari coffee shop ini sembari meremas kesal lenganku. Tak pernah sesesal ini sebelumnya. Hanya berani tersesat dalam khayal. Imaji yang terkonsep matang dan terlukis sempurna tersembunyi di balik sepasang mata namun urung dituangkan dalam lembaran kertas yang belum terisi bernamakan suratan nasib masa depan. Sekarang tak ada guna menyumpahi diri sendiri atas kesempatan yang tidak diambil, kemungkinan cipta hubungan yang ditakuti bahkan untuk mengusahakannya terlebih dulu, dan keputusan yang terlalu lama untuk diputuskan.

Apa karena tanpa sadar aku merasa tidak pantas untuknya? Apa mungkin aku tak lebih dari pengecut yang tak berani berusaha lantas memikirkan rasionalisasi sebelumnya? Atau apakah memang takdir seorang diri ini memang tak segaris lurus dengan ia?

Pikiranku segera berhenti camuk ketika melihat ia dari samping yang mendongak pandang menuju papan nomor-nomor yang berganti pelan. Ia sedang menunggu lift.

Jantungku serasa terjun bebas menuju lantai. Aku menggenggam erat tas jinjingku agar tidak ikut juga terjatuh ke lantai. Ragu menghampiriku kembali tak lama sebelum aku menepisnya jauh. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang untuk ketiga atau keempat kalinya kecuali mukjizat. Hubungan yang mungkin terjadi dengan semua harmoni dengan iring simfoninya akan melampaui sekedar dunia khayal. Keputusan yang mungkin akan merubah hidupku untuk segalanya dan selama-lamanya.

Tarik nafas, pelan hembuskan. Kuhampiri dan kusapa ia..

"Hai."

Ia menoleh mencari sumber suara, lalu menatap mataku. Ia membalasnya, dan tersenyum.

Ya, dengan senyum alang rindunya, yang menuai manis gula, yang memuai seperti selalu, yang mengalahkan teduh lengkung bulan.

*

Started in Bandung at the end of July, completed in South Tangerang on Friday, October 10th 2014, 04.50 AM.

3 comments: