"Can I just lay here with you under the Milky Way sky forever and ever?" she whispered with her very smile.
"Fine by me," and then I suddenly woke up under the ceiling, to found nobody here beside me.
Sunday, December 14, 2014
Sunday, November 23, 2014
Mengapa Harus Bermoral?
Rabu, 22 Oktober 2014
Kami yang biasa menamakan atau diberi nama anak-anak “Belakang BEM” melakukan diskusi yang memang diadakan tiap minggu. Forum diskusi ini biasa disebut “Discussion Community”. Forum ini memang sempat vakum beberapa lama karena kesibukan politik dan masalah-masalah internal yang ada di kampus. Baru-baru ini saja kami mencoba kembali menghidupkan suasana diskusi yang sudah lama tidak diselenggarakan.
Topik diskusi kali ini telah ditentukan seminggu yang lalu ketika sedang nongkrong santai di pelataran gedung FISIP UIN, topik diskusi kali ini bertemakan “Mengapa Harus Bermoral?”. Topik yang cukup abstrak memang. Kami memiliki prinsip untuk membuka ruang sebebas-bebasnya dalam menyatakan pendapat dan membolehkan siapa saja dan/atau ide apa saja untuk dikontestasikan dalam forum diskusi ini. Tak penting rasanya nama forum diskusi dan nama kelompok kami, setiap orang bebas menamakan apa saja forum ini, yang jelas forum diskusi ini tidak sedikit pun membatasi ide.
Berangkat dari prinsip forum diskusi kami, maka tema-tema yang dilemparkan untuk menjadi tema diskusi tidak sedikitpun dibatasi. Hal apapun akan didiskusikan dengan serius tetapi tetap santai dan penuh canda. Diskusi kali ini dimulai ketika ba’da maghrib, setelah semua kelas kuliah selesai. Diskusi kali ini dihadiri oleh kurang lebih 11 orang, cukup ramai untuk sebuah forum diskusi santai.
Model diskusi kami menciptakan kondisi dimana setiap peserta diperbolehkan untuk berpendapat sesuai dengan penafsirannya, karena sesuai dengan prinsip kami bahwa Discussion Community membuka ruang sebebas-bebasnya dalam menyatakan pendapat dan membolehkan siapa saja dan ide apa saja untuk dikontestasikan dalam forum diskusi.
Satu prinsip lagi, mengambil dari ayat Al-Qur’an yang kurang lebih berbunyi “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Kami menambahkan ayat tersebut untuk dijadikan prinsip kami, yaitu “Jika dalam agama pun tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi berdiskusi”. Oleh karena itu, berpendapat atau tidak adalah hak peserta diskusi dan setiap peserta diskusi memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada perbedaan.
Setelah adzan Maghrib selesai dikumandangkan, logistik utama diskusi seperti rokok dan kopi sudah tersedia, maka diskusi dimulai. Pertama-tama diskusi dibuka oleh Edo sebagai moderator diskusi. Ia membuka forum dengan sebuah pertanyaan apa itu moral lalu meminta penafsiran seluruh peserta atas pertanyaan tersebut.
Gendut (Yuda) memulai bahasan diskusi dengan menyatakan bahwa moral adalah sebuah nilai positif, sebab nilai negatif disebut sebagai amoral, maka dari itu nilai negatif tidak lagi dapat disebut sebagai moral. Sedangkan Acong, dengan gaya berpikirnya yang sedikit nyeleneh, berpendapat bahwa sistem moral yang dianggap orang sebagai acuan moralitas adalah sebuah sistem yang justru membuat orang menjadi munafik.
Pendapat Acong membuat peserta diskusi kebingungan, lalu Fadel menafsirkan pendapat Acong menjadi lebih jelas. “Sebuah sistem moral yang melahirkan aturan-aturan yang menekan individu untuk berperilaku seringkali tidak sesuai dengan kemauan hati nurani individu. Individu berperilaku sesuai aturan hanya karena tekanan lingkungan bukan kemauan individu, hal inilah yang membuat Acong berpikir bahwa moralitas membuat orang menjadi munafik,” sebut Fadel dengan tafsirannya atas maksud Acong, disambut angguk paham peserta diskusi dan Acong sendiri.
Melanjutkan pertanyaan Edo tadi, Arya berpendapat bahwa moral adalah sesuatu yang menentukan sifat orang. Menurut Arya, moralitas adalah sebuah landasan seseorang dalam berpikir untuk menentukan sikap yang ketika terbiasa akan menjadi sifat.
Momon (Dery) sendiri berpendapat bahwa moral adalah tolak ukur baik tidaknya perilaku dan sifat seseorang. Risang masuk dengan pendapatnya yang sederhana tapi cukup komprehensif. Jika menurut Risang, moral sama dengan etika, yaitu nilai baik yang terdapat dalam manusia. Hampir mirip dengan pendapat Gendut. “Moral adalah sebuah sistem dalam masyarakat untuk menentukan baik-tidaknya perilaku yang dihasilkan individu dalam masyarakat,” lanjut Risang.
Kinkin (Ricky) mengatakan bahwa menurutnya moral adalah sesuatu yang mengikat dan sudah ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, manusia sebagai anggota masyarakat tidak akan bisa keluar dari sebuah sistem moralitas yang dihasilkan masyarakat untuk mengatur anggota-anggotanya tetap harmonis. Ajisoko sedikit menambahkan, baginya moral adalah separator. “Maksudnya, moral adalah pagar-pagar separator yang dibuat agar anggota masyarakat tidak melewati aturan-aturan yang sudah dibuat demi kebaikan keseluruhan masyarakat,” ujar Ajisoko.
Teddy mengiyakan pendapat Kinkin dan Aji. Menurut Teddy, moral adalah nilai yang tertanam dalam masyarakat dan secara langsung maupun tidak langsung tertanam pula pada setiap individu yang memang tidak akan mampu melepaskan diri dari masyarakat. Idek (Kaffa) juga mengemukakan pendapatnya, mirip dengan pendapat Risang. Ia menyatakan bahwa moral adalah nilai yang lahir dari masyarakat dan akhirnya tertanam dalam setiap individu.
Abay (Akbar) mencoba mengelaborasi pendapat teman-teman dari forum diskusi. Abay memuji pendapat kawan-kawan sebelumnya. Ia menyepakati beberapa pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa moral adalah tolak ukur baik-tidaknya sikap seseorang dan alat tolak ukur tersebut memang sudah tertanam dalam pikiran kolektif masyarakat.
Fadel melanjutkan diskusi melalui perspektif etimologi. Ia pertama-tama mengutip dari KBBI, moral adalah ajaran baik buruk yang ditanamkan masyarakat. “Keluar dari definisi operasional KBBI. Menurutnya moral adalah sebuah tolak ukur universal yang tertanam dalam setiap kepala manusia dan bukan ditanamkan oleh masyarakat. Jika benar moral tertanam dalam masyarakat maka sistem moral tiap budaya akan berbeda, tapi nyatanya setiap budaya memiliki nilai-nilai universal yang hampir sama,” lanjutnya.
Suasana forum diskusi yang berawal kalem mulai menjadi panas, alurnya yang mengalir lembut menjadi mandek. Peserta diskusi banyak yang tidak menyepakati pendapat Fadel dan meminta klarifikasi dan bukti-bukti konkret. “Sebab, faktanya terdapat banyak perbedaan nilai baik dan buruk dalam setiap budaya,” seru Abay.
Momon mengiyakan pendapat Abay, ia memberikan contoh di Eropa yang dimana budayanya tidak terlalu mempermasalahkan kedekatan pria dan wanita yang tentunya berbeda jauh dengan budaya di Asia. Masih banyak lagi contoh-contoh kontradiksi terkait masalah moralitas yang terikat oleh budaya masyarakat, sebut peserta diskusi yang lain.
Fadel menjelaskan, bahwa memang benar secara kasat mata terdapat banyak sekali kontradiksi nilai moral dalam setiap budaya. Ia mencontohkan sikap anak terhadap orangtua. “Dalam budaya Betawi, percakapan gue-loe anak terhadap orangtua adalah lumrah sedangkan dalam budaya lain tentu dianggap tidak sopan. Di Eropa, hubungan anak terhadap orangtua juga tidak sedekat hubungan orangtua-anak di Asia. Orang Eropa tidak perlu mencium tangan orangtuanya, jika kita melihat hanya dalam kacamata budaya Asia terkhusus Indonesia maka kita akan menyatakan bahwa itu adalah perbuatan yang tidak sopan,” balas Fadel.
Fadel kembali menambahkan bahwa kita harus memperkaya perspektif untuk melihat segala sesuatu, bagaimanapun bentuk hubungan yang tampak antara orangtua dan anak di setiap budaya, nilainya tetap sama bahwa anak harus menghormati orangtua.
”Secara bentuk atau yang terlihat mata, memang banyak sekali kontradiksi-kontradiksi nilai yang terjadi, tapi secara esensi atau isinya tetap sama. Itulah yang saya maksud dengan moral, sebuah nilai universal. Tertanam dalam setiap kepala manusia. Esensinya sama, tapi mengejewantah dalam setiap budaya dengan berbeda sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi budaya tersebut,” lanjut Fadel.
Edo sebagai moderator menengahi perselisihan-perselisihan dan mencoba untuk melanjutkan diskusi agar tidak hanya berkutat dalam masalah definisi. Fadel kembali memotong, ia berpendapat bahwa sebuah pembahasan tidak akan dapat didiskusikan jika tidak ditemukan definisi operasionalnya. Sebab, menurutnya jika pemahaman definisinya berbeda maka ke depannya akan terjadi banyak sekali salah paham.
Peserta diskusi menyepakati pendapat Fadel, sehingga diskusi tentang definisi moral masih dilanjutkan. Pendapat demi pendapat keluar dan tidak menemui kesepakatan tentang definisi operasional. Demi kelancaran diskusi, maka Abay kembali mengelaborasi pendapat teman-teman sebelumnya. Satu per satu peserta diskusi mengemukakan pendapatnya dan akhirnya disepakati definisi operasional dari moral, yaitu nilai yang dianggap pantas oleh masyarakat, yang terikat oleh ruang dan waktu.
Seluruh peserta diskusi pun setuju atas definisi operasional tersebut. Teddy mengatakan, biarlah definisi kita berbeda dari definisi orang kebanyakan, yang penting kita puas dan mendefinisikan sesuatu benar-benar dari kepala kita, tidak hanya mengikuti tradisi definisi yang ada.
Edo membenarkan pendapat Teddy, menurutnya kita memang minoritas dan tak apalah sebab mayoritas sering kali dapat digambarkan sebagai sekumpulan ikan mati yang mengikuti arus. “Bagaimanapun, Idek tetaplah minoritas di dalam minoritas,” ujar Edo mempercair suasana, sembari menunjuk Idek yang dianggap kaum minoritas karena memiliki kulit gelap seperti ras Negroid.
Fadel menambahkan bahwa penting menjadi minoritas, karena semua gerakan masif lahir dari kalangan minoritas. Ia mencontohkan Yesus yang hanya memiliki 12 murid tapi kini ajarannya dianut oleh lebih dari 2 milyar manusia di muka bumi. Begitupun Buddha, Nabi Muhammad SAW, dan orang hebat lainnya yang lahir dari rahim kalangan minoritas.
Akhirnya, kami, anak “Belakang BEM” patut berbangga menjadi kaum minoritas. Setelah menemukan definisi operasional ala kami, Edo sebagai moderator kembali melemparkan pertanyaan yang sesuai dengan tema diskusi kali ini sekaligus puncak pembahasan, yaitu “Mengapa Kita Harus Bermoral?”
Sesi kali ini berbeda dengan sesi pertama tadi, kali ini setiap orang tidak diberi antrean untuk berpendapat, tapi siapapun yang mau berpendapat boleh langsung menyatakan pendapatnya. Momon memulai pendapat bahwa kita harus bermoral agar dapat diterima masyarakat, karena secara tidak langsung jika kita tidak bermoral maka masyarakat tidak akan menerima kita dan otomatis kita dijauhi.
Hampir seluruh peserta diskusi menyepakati pernyataan Momon. Fadel menyatakan keberatannya, menurutnya di era kapitalisme global seperti sekarang ini, moral bukan acuan utama seseorang diterima atau tidak oleh masyarakat. Ia mengatakan bahwa acuan utama saat ini adalah uang, dimana ketika kita memiliki banyak uang maka kita akan bisa terus bertahan hidup. Faktanya banyak saat ini orang tidak bermoral yang melanggar nilai kepantasan masyarakat tapi tetap saja hidupnya enak-enakan.
Risang yang sepakat dengan pendapat Momon keberatan dengan pendapat Fadel. Menurutnya setiap orang harus bermoral, paling tidak untuk pergaulan. Jika kita tidak memiliki moral dalam bergaul maka tidak akan ada yang mau berdekatan dengan kita, jika hal itu sudah terjadi maka hal tersebut akan membunuh orang yang tidak bermoral itu.
Kinkin menyahut setuju dengan Risang, ia mengatakan bahwa sejahat apapun orang pasti tetap membutuhkan orang bermoral. “Sebagai contoh, pengedar narkoba akan membutuhkan orang baik atau bermoral untuk menyalurkan barang-barang haramnya, sebab jika tidak ada orang baik maka roda kehidupan jahat pun akan berhenti,” lanjut Kinkin.
Abay mengiyakan pendapat Kinkin, bagaimanapun pengusaha jahat akan membutuhkan orang yang bermoral untuk menjalankan roda uangnya. Sebab kejujuran adalah salah satu indikator dari orang yang bermoral.
Gendut menafsirkan bahwa berarti moral sangat bergantung dari konteks ruang dan waktu. Ia melanjutkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki sistem moral yang berbeda, sebagai contoh sistem moral kelompok perampok dan kelompok pemabuk memiliki perbedaan sistem moral. “Tapi terlepas dari itu semua, benar kata Fadel, ada sebuah nilai universal yang sama, yaitu mereka harus memiliki loyalitas terhadap kelompoknya dan saling menghargai walaupun secara bentuk berbeda, tetapi secara kasat mata akan sama jika kita mengambil esensinya,” lanjutnya.
Edo kembali memasuki arena kontestasi pendapat, “Rasanya pertanyaan mengapa kita harus bermoral terjawab sudah, tidak begitu sulit seperti yang dibayangkan. Mari kita coba kerucutkan lagi. Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dari dalam kepala, darimana moral berasal?” tanya Edo, seakan peserta diskusi belum cukup pusing dari semenjak dimulainya forum ini.
Walaupun sebenarnya pertanyaan itu adalah sebuah momok pikir baru yang menarik untuk didiskusikan.. Darimana moral berasal? Suasana diskusi sempat hening barang sejenak, peserta diskusi terlihat berpikir keras untuk menjawab pertanyaan ini. Pencarian di Google tidak dianjurkan di forum ini, sebab kita ingin apapun ide yang keluar adalah orisinil dari kepala kita sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang sudah memberikan akal yang memiliki potensi luar biasa ini.
Fadel sebagai orang yang paling banyak membaca buku di antara peserta diskusi lain, akhirnya mulai menceritakan tentang sejarah manusia dalam perspektif evolusi Darwinisme. Menurutnya, manusia ketika usianya masih sangat muda dalam evolusinya dipaksa beradu kuat dengan hewan di alam bebas untuk bertahan. Tentunya jika tidak memiliki kelompok sosial, manusia akan sangat mudah mati dimakan hewan buas. Ketika itu peralatan manusia masih sangat terbatas sehingga manusia harus saling bekerja sama untuk tetap bertahan hidup. Saat manusia berkumpul membentuk kelompok, mereka berkembang biak menjadi banyak dan ketika anggota kelompoknya sudah banyak mereka harus membentuk sebuah sistem nilai yang membatasi anggota kelompoknya agar terus mengabdi pada kelompoknya demi kebaikan semua anggota kelompok.
“Individualisme sangat diharamkan ketika itu, sebab kesendirian akan sangat berbahaya. Dari perspektif ini, diintegrasikan juga dengan teori ketidaksadaran kolektif Carl Jung maka manusia sudah tertanam dalam jiwanya untuk saling membantu demi kelangsungan hidup bersama. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itulah narapidana yang dimasukkan penjara isolasi (sendiri dalam penjara yang besar) akan lebih cepat mati dibanding narapidana yang dimasukkan penjara biasa. Manusia memang sudah fitrahnya begitu,” lanjut Fadel.
Edo menambahkan bahwa kita harus hidup untuk orang lain, itulah pesan universal moralitas. Gendut juga mengatakan bahwa dengan membuat diri sendiri bermoral maka secara otomatis kita akan memunculkan sikap saling tolong-menolong. Abay pun mengutip hadits yang kurang lebih berbunyi “Orang yang paling berguna adalah mereka yang bermafaat untuk orang lain”.
Diskusi yang tadinya cukup membingungkan kini mendapat pencerahan. Forum ini seakan mendapat kemampuan untuk menangkap pesan universal moralitas yang tertanam dalam manusia.
Tiba-tiba Teddy menyatakan pendapatnya yang luar biasa, ia mengatakan bahwa menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri. Ia sepakat dengan Edo, bahwa inilah pesan universal moral. Kita harus terus menolong orang lain, karena hal tersebut berarti menolong diri sendiri. “Jika ingin menolong diri sendiri, maka tolonglah orang lain. Hal inilah yang menyelamatkan kita nanti,” ujar Teddy.
Fadel menambahkan bahwa hal itu adalah kaidah emas dalam agama. Hampir tiap agama menyatakan pesan itu, jika tidak salah Buddha pernah berpendapat bahwa untuk mencapai nirwana yang hakiki kita harus mengantarkan orang lain ke jalan mencapai nirwana, yaitu saling tolong menolong.
Tak terasa hari semakin malam, walaupun ada dua atau tiga di antara kami yang merasa tanggung dan masih ingin melanjutkan diskusi, mau tak mau diskusi hari inipun dirasa cukup untuk ditutup dengan pernyataan dari Teddy yang luar biasa tadi..
“Jika mau menolong diri sendiri, maka tolonglah orang lain”.
-
Post ini telah melalui berbagai tahap proses editing, termasuk beberapa perubahan dan penambahan isi yang sesuai demi penyempurnaan dari post blog yang berjudul sama oleh Fadel dalam blog-nya, dengan izin.
Kami yang biasa menamakan atau diberi nama anak-anak “Belakang BEM” melakukan diskusi yang memang diadakan tiap minggu. Forum diskusi ini biasa disebut “Discussion Community”. Forum ini memang sempat vakum beberapa lama karena kesibukan politik dan masalah-masalah internal yang ada di kampus. Baru-baru ini saja kami mencoba kembali menghidupkan suasana diskusi yang sudah lama tidak diselenggarakan.
Topik diskusi kali ini telah ditentukan seminggu yang lalu ketika sedang nongkrong santai di pelataran gedung FISIP UIN, topik diskusi kali ini bertemakan “Mengapa Harus Bermoral?”. Topik yang cukup abstrak memang. Kami memiliki prinsip untuk membuka ruang sebebas-bebasnya dalam menyatakan pendapat dan membolehkan siapa saja dan/atau ide apa saja untuk dikontestasikan dalam forum diskusi ini. Tak penting rasanya nama forum diskusi dan nama kelompok kami, setiap orang bebas menamakan apa saja forum ini, yang jelas forum diskusi ini tidak sedikit pun membatasi ide.
Berangkat dari prinsip forum diskusi kami, maka tema-tema yang dilemparkan untuk menjadi tema diskusi tidak sedikitpun dibatasi. Hal apapun akan didiskusikan dengan serius tetapi tetap santai dan penuh canda. Diskusi kali ini dimulai ketika ba’da maghrib, setelah semua kelas kuliah selesai. Diskusi kali ini dihadiri oleh kurang lebih 11 orang, cukup ramai untuk sebuah forum diskusi santai.
Model diskusi kami menciptakan kondisi dimana setiap peserta diperbolehkan untuk berpendapat sesuai dengan penafsirannya, karena sesuai dengan prinsip kami bahwa Discussion Community membuka ruang sebebas-bebasnya dalam menyatakan pendapat dan membolehkan siapa saja dan ide apa saja untuk dikontestasikan dalam forum diskusi.
Satu prinsip lagi, mengambil dari ayat Al-Qur’an yang kurang lebih berbunyi “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Kami menambahkan ayat tersebut untuk dijadikan prinsip kami, yaitu “Jika dalam agama pun tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi berdiskusi”. Oleh karena itu, berpendapat atau tidak adalah hak peserta diskusi dan setiap peserta diskusi memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada perbedaan.
Setelah adzan Maghrib selesai dikumandangkan, logistik utama diskusi seperti rokok dan kopi sudah tersedia, maka diskusi dimulai. Pertama-tama diskusi dibuka oleh Edo sebagai moderator diskusi. Ia membuka forum dengan sebuah pertanyaan apa itu moral lalu meminta penafsiran seluruh peserta atas pertanyaan tersebut.
Gendut (Yuda) memulai bahasan diskusi dengan menyatakan bahwa moral adalah sebuah nilai positif, sebab nilai negatif disebut sebagai amoral, maka dari itu nilai negatif tidak lagi dapat disebut sebagai moral. Sedangkan Acong, dengan gaya berpikirnya yang sedikit nyeleneh, berpendapat bahwa sistem moral yang dianggap orang sebagai acuan moralitas adalah sebuah sistem yang justru membuat orang menjadi munafik.
Pendapat Acong membuat peserta diskusi kebingungan, lalu Fadel menafsirkan pendapat Acong menjadi lebih jelas. “Sebuah sistem moral yang melahirkan aturan-aturan yang menekan individu untuk berperilaku seringkali tidak sesuai dengan kemauan hati nurani individu. Individu berperilaku sesuai aturan hanya karena tekanan lingkungan bukan kemauan individu, hal inilah yang membuat Acong berpikir bahwa moralitas membuat orang menjadi munafik,” sebut Fadel dengan tafsirannya atas maksud Acong, disambut angguk paham peserta diskusi dan Acong sendiri.
Melanjutkan pertanyaan Edo tadi, Arya berpendapat bahwa moral adalah sesuatu yang menentukan sifat orang. Menurut Arya, moralitas adalah sebuah landasan seseorang dalam berpikir untuk menentukan sikap yang ketika terbiasa akan menjadi sifat.
Momon (Dery) sendiri berpendapat bahwa moral adalah tolak ukur baik tidaknya perilaku dan sifat seseorang. Risang masuk dengan pendapatnya yang sederhana tapi cukup komprehensif. Jika menurut Risang, moral sama dengan etika, yaitu nilai baik yang terdapat dalam manusia. Hampir mirip dengan pendapat Gendut. “Moral adalah sebuah sistem dalam masyarakat untuk menentukan baik-tidaknya perilaku yang dihasilkan individu dalam masyarakat,” lanjut Risang.
Kinkin (Ricky) mengatakan bahwa menurutnya moral adalah sesuatu yang mengikat dan sudah ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, manusia sebagai anggota masyarakat tidak akan bisa keluar dari sebuah sistem moralitas yang dihasilkan masyarakat untuk mengatur anggota-anggotanya tetap harmonis. Ajisoko sedikit menambahkan, baginya moral adalah separator. “Maksudnya, moral adalah pagar-pagar separator yang dibuat agar anggota masyarakat tidak melewati aturan-aturan yang sudah dibuat demi kebaikan keseluruhan masyarakat,” ujar Ajisoko.
Teddy mengiyakan pendapat Kinkin dan Aji. Menurut Teddy, moral adalah nilai yang tertanam dalam masyarakat dan secara langsung maupun tidak langsung tertanam pula pada setiap individu yang memang tidak akan mampu melepaskan diri dari masyarakat. Idek (Kaffa) juga mengemukakan pendapatnya, mirip dengan pendapat Risang. Ia menyatakan bahwa moral adalah nilai yang lahir dari masyarakat dan akhirnya tertanam dalam setiap individu.
Abay (Akbar) mencoba mengelaborasi pendapat teman-teman dari forum diskusi. Abay memuji pendapat kawan-kawan sebelumnya. Ia menyepakati beberapa pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa moral adalah tolak ukur baik-tidaknya sikap seseorang dan alat tolak ukur tersebut memang sudah tertanam dalam pikiran kolektif masyarakat.
Fadel melanjutkan diskusi melalui perspektif etimologi. Ia pertama-tama mengutip dari KBBI, moral adalah ajaran baik buruk yang ditanamkan masyarakat. “Keluar dari definisi operasional KBBI. Menurutnya moral adalah sebuah tolak ukur universal yang tertanam dalam setiap kepala manusia dan bukan ditanamkan oleh masyarakat. Jika benar moral tertanam dalam masyarakat maka sistem moral tiap budaya akan berbeda, tapi nyatanya setiap budaya memiliki nilai-nilai universal yang hampir sama,” lanjutnya.
Suasana forum diskusi yang berawal kalem mulai menjadi panas, alurnya yang mengalir lembut menjadi mandek. Peserta diskusi banyak yang tidak menyepakati pendapat Fadel dan meminta klarifikasi dan bukti-bukti konkret. “Sebab, faktanya terdapat banyak perbedaan nilai baik dan buruk dalam setiap budaya,” seru Abay.
Momon mengiyakan pendapat Abay, ia memberikan contoh di Eropa yang dimana budayanya tidak terlalu mempermasalahkan kedekatan pria dan wanita yang tentunya berbeda jauh dengan budaya di Asia. Masih banyak lagi contoh-contoh kontradiksi terkait masalah moralitas yang terikat oleh budaya masyarakat, sebut peserta diskusi yang lain.
Fadel menjelaskan, bahwa memang benar secara kasat mata terdapat banyak sekali kontradiksi nilai moral dalam setiap budaya. Ia mencontohkan sikap anak terhadap orangtua. “Dalam budaya Betawi, percakapan gue-loe anak terhadap orangtua adalah lumrah sedangkan dalam budaya lain tentu dianggap tidak sopan. Di Eropa, hubungan anak terhadap orangtua juga tidak sedekat hubungan orangtua-anak di Asia. Orang Eropa tidak perlu mencium tangan orangtuanya, jika kita melihat hanya dalam kacamata budaya Asia terkhusus Indonesia maka kita akan menyatakan bahwa itu adalah perbuatan yang tidak sopan,” balas Fadel.
Fadel kembali menambahkan bahwa kita harus memperkaya perspektif untuk melihat segala sesuatu, bagaimanapun bentuk hubungan yang tampak antara orangtua dan anak di setiap budaya, nilainya tetap sama bahwa anak harus menghormati orangtua.
”Secara bentuk atau yang terlihat mata, memang banyak sekali kontradiksi-kontradiksi nilai yang terjadi, tapi secara esensi atau isinya tetap sama. Itulah yang saya maksud dengan moral, sebuah nilai universal. Tertanam dalam setiap kepala manusia. Esensinya sama, tapi mengejewantah dalam setiap budaya dengan berbeda sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi budaya tersebut,” lanjut Fadel.
Edo sebagai moderator menengahi perselisihan-perselisihan dan mencoba untuk melanjutkan diskusi agar tidak hanya berkutat dalam masalah definisi. Fadel kembali memotong, ia berpendapat bahwa sebuah pembahasan tidak akan dapat didiskusikan jika tidak ditemukan definisi operasionalnya. Sebab, menurutnya jika pemahaman definisinya berbeda maka ke depannya akan terjadi banyak sekali salah paham.
Peserta diskusi menyepakati pendapat Fadel, sehingga diskusi tentang definisi moral masih dilanjutkan. Pendapat demi pendapat keluar dan tidak menemui kesepakatan tentang definisi operasional. Demi kelancaran diskusi, maka Abay kembali mengelaborasi pendapat teman-teman sebelumnya. Satu per satu peserta diskusi mengemukakan pendapatnya dan akhirnya disepakati definisi operasional dari moral, yaitu nilai yang dianggap pantas oleh masyarakat, yang terikat oleh ruang dan waktu.
Seluruh peserta diskusi pun setuju atas definisi operasional tersebut. Teddy mengatakan, biarlah definisi kita berbeda dari definisi orang kebanyakan, yang penting kita puas dan mendefinisikan sesuatu benar-benar dari kepala kita, tidak hanya mengikuti tradisi definisi yang ada.
Edo membenarkan pendapat Teddy, menurutnya kita memang minoritas dan tak apalah sebab mayoritas sering kali dapat digambarkan sebagai sekumpulan ikan mati yang mengikuti arus. “Bagaimanapun, Idek tetaplah minoritas di dalam minoritas,” ujar Edo mempercair suasana, sembari menunjuk Idek yang dianggap kaum minoritas karena memiliki kulit gelap seperti ras Negroid.
Fadel menambahkan bahwa penting menjadi minoritas, karena semua gerakan masif lahir dari kalangan minoritas. Ia mencontohkan Yesus yang hanya memiliki 12 murid tapi kini ajarannya dianut oleh lebih dari 2 milyar manusia di muka bumi. Begitupun Buddha, Nabi Muhammad SAW, dan orang hebat lainnya yang lahir dari rahim kalangan minoritas.
Akhirnya, kami, anak “Belakang BEM” patut berbangga menjadi kaum minoritas. Setelah menemukan definisi operasional ala kami, Edo sebagai moderator kembali melemparkan pertanyaan yang sesuai dengan tema diskusi kali ini sekaligus puncak pembahasan, yaitu “Mengapa Kita Harus Bermoral?”
Sesi kali ini berbeda dengan sesi pertama tadi, kali ini setiap orang tidak diberi antrean untuk berpendapat, tapi siapapun yang mau berpendapat boleh langsung menyatakan pendapatnya. Momon memulai pendapat bahwa kita harus bermoral agar dapat diterima masyarakat, karena secara tidak langsung jika kita tidak bermoral maka masyarakat tidak akan menerima kita dan otomatis kita dijauhi.
Hampir seluruh peserta diskusi menyepakati pernyataan Momon. Fadel menyatakan keberatannya, menurutnya di era kapitalisme global seperti sekarang ini, moral bukan acuan utama seseorang diterima atau tidak oleh masyarakat. Ia mengatakan bahwa acuan utama saat ini adalah uang, dimana ketika kita memiliki banyak uang maka kita akan bisa terus bertahan hidup. Faktanya banyak saat ini orang tidak bermoral yang melanggar nilai kepantasan masyarakat tapi tetap saja hidupnya enak-enakan.
Risang yang sepakat dengan pendapat Momon keberatan dengan pendapat Fadel. Menurutnya setiap orang harus bermoral, paling tidak untuk pergaulan. Jika kita tidak memiliki moral dalam bergaul maka tidak akan ada yang mau berdekatan dengan kita, jika hal itu sudah terjadi maka hal tersebut akan membunuh orang yang tidak bermoral itu.
Kinkin menyahut setuju dengan Risang, ia mengatakan bahwa sejahat apapun orang pasti tetap membutuhkan orang bermoral. “Sebagai contoh, pengedar narkoba akan membutuhkan orang baik atau bermoral untuk menyalurkan barang-barang haramnya, sebab jika tidak ada orang baik maka roda kehidupan jahat pun akan berhenti,” lanjut Kinkin.
Abay mengiyakan pendapat Kinkin, bagaimanapun pengusaha jahat akan membutuhkan orang yang bermoral untuk menjalankan roda uangnya. Sebab kejujuran adalah salah satu indikator dari orang yang bermoral.
Gendut menafsirkan bahwa berarti moral sangat bergantung dari konteks ruang dan waktu. Ia melanjutkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki sistem moral yang berbeda, sebagai contoh sistem moral kelompok perampok dan kelompok pemabuk memiliki perbedaan sistem moral. “Tapi terlepas dari itu semua, benar kata Fadel, ada sebuah nilai universal yang sama, yaitu mereka harus memiliki loyalitas terhadap kelompoknya dan saling menghargai walaupun secara bentuk berbeda, tetapi secara kasat mata akan sama jika kita mengambil esensinya,” lanjutnya.
Edo kembali memasuki arena kontestasi pendapat, “Rasanya pertanyaan mengapa kita harus bermoral terjawab sudah, tidak begitu sulit seperti yang dibayangkan. Mari kita coba kerucutkan lagi. Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dari dalam kepala, darimana moral berasal?” tanya Edo, seakan peserta diskusi belum cukup pusing dari semenjak dimulainya forum ini.
Walaupun sebenarnya pertanyaan itu adalah sebuah momok pikir baru yang menarik untuk didiskusikan.. Darimana moral berasal? Suasana diskusi sempat hening barang sejenak, peserta diskusi terlihat berpikir keras untuk menjawab pertanyaan ini. Pencarian di Google tidak dianjurkan di forum ini, sebab kita ingin apapun ide yang keluar adalah orisinil dari kepala kita sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang sudah memberikan akal yang memiliki potensi luar biasa ini.
Fadel sebagai orang yang paling banyak membaca buku di antara peserta diskusi lain, akhirnya mulai menceritakan tentang sejarah manusia dalam perspektif evolusi Darwinisme. Menurutnya, manusia ketika usianya masih sangat muda dalam evolusinya dipaksa beradu kuat dengan hewan di alam bebas untuk bertahan. Tentunya jika tidak memiliki kelompok sosial, manusia akan sangat mudah mati dimakan hewan buas. Ketika itu peralatan manusia masih sangat terbatas sehingga manusia harus saling bekerja sama untuk tetap bertahan hidup. Saat manusia berkumpul membentuk kelompok, mereka berkembang biak menjadi banyak dan ketika anggota kelompoknya sudah banyak mereka harus membentuk sebuah sistem nilai yang membatasi anggota kelompoknya agar terus mengabdi pada kelompoknya demi kebaikan semua anggota kelompok.
“Individualisme sangat diharamkan ketika itu, sebab kesendirian akan sangat berbahaya. Dari perspektif ini, diintegrasikan juga dengan teori ketidaksadaran kolektif Carl Jung maka manusia sudah tertanam dalam jiwanya untuk saling membantu demi kelangsungan hidup bersama. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itulah narapidana yang dimasukkan penjara isolasi (sendiri dalam penjara yang besar) akan lebih cepat mati dibanding narapidana yang dimasukkan penjara biasa. Manusia memang sudah fitrahnya begitu,” lanjut Fadel.
Edo menambahkan bahwa kita harus hidup untuk orang lain, itulah pesan universal moralitas. Gendut juga mengatakan bahwa dengan membuat diri sendiri bermoral maka secara otomatis kita akan memunculkan sikap saling tolong-menolong. Abay pun mengutip hadits yang kurang lebih berbunyi “Orang yang paling berguna adalah mereka yang bermafaat untuk orang lain”.
Diskusi yang tadinya cukup membingungkan kini mendapat pencerahan. Forum ini seakan mendapat kemampuan untuk menangkap pesan universal moralitas yang tertanam dalam manusia.
Tiba-tiba Teddy menyatakan pendapatnya yang luar biasa, ia mengatakan bahwa menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri. Ia sepakat dengan Edo, bahwa inilah pesan universal moral. Kita harus terus menolong orang lain, karena hal tersebut berarti menolong diri sendiri. “Jika ingin menolong diri sendiri, maka tolonglah orang lain. Hal inilah yang menyelamatkan kita nanti,” ujar Teddy.
Fadel menambahkan bahwa hal itu adalah kaidah emas dalam agama. Hampir tiap agama menyatakan pesan itu, jika tidak salah Buddha pernah berpendapat bahwa untuk mencapai nirwana yang hakiki kita harus mengantarkan orang lain ke jalan mencapai nirwana, yaitu saling tolong menolong.
Tak terasa hari semakin malam, walaupun ada dua atau tiga di antara kami yang merasa tanggung dan masih ingin melanjutkan diskusi, mau tak mau diskusi hari inipun dirasa cukup untuk ditutup dengan pernyataan dari Teddy yang luar biasa tadi..
“Jika mau menolong diri sendiri, maka tolonglah orang lain”.
-
Post ini telah melalui berbagai tahap proses editing, termasuk beberapa perubahan dan penambahan isi yang sesuai demi penyempurnaan dari post blog yang berjudul sama oleh Fadel dalam blog-nya, dengan izin.
Saturday, November 15, 2014
Terlalu Sebentar
tentang aku mengenai kamu
mencampuri urusanmu
berlalu dua detik
tak adakah lagi?
aku ingin lagi
mencampuri urusanmu
berlalu dua detik
tak adakah lagi?
aku ingin lagi
Tuesday, November 11, 2014
Di Balik Diam
Aku sedang terdiam dalam mencintai.
Diamku bukan karena kiranya ambisi sesaat, bukan juga telah berpaling pada perempuan lain atau bahkan menyerah.
Aku telah pasti menaruh pilihan untuk mencintainya sejak pertama kali bertukar pandang dengannya.
Dengannya yang bersayap kecil, jajaknya mengambang tenang di udara, menyebarkan benih putih kemilau di tiap langkahnya.
Diam bagiku bukan berarti tidak memperjuangkan. Aku tetap berjuang untuk menjadi pantas terlebih dahulu untuknya yang kurasa terlalu baik dan amat sempurna untukku. She's out of my league, and I'm already in the process to join her league.
Diam bagiku bukan berarti tidak mendoakan. Aku tetap berdoa agar ia senantiasa sehat, baik adanya, dan tetap berbahagia layaknya sedia kala biar senyum yang selalu menghias wajahnya tidak pernah luntur.
Diam bagiku bukan berarti tidak berencana. Aku tetap merangkai rencana, menenggelamkan diri pada takjubnya fantasi di dalam pejam belakang mata yang kuyakin dapat juga kuwujudkan riil, bahkan menjadi sempurna jauh dari sekedar khayal.
Diam bagiku bukan berarti tidak berani. Aku tetap berani menjadikan ia bakal tautan jiwa yang menyatu tanpa cela, tanpa beralih ke bakal sosok lain yang serupa sejak aku mengambil keputusanku sendiri.
Berapapun orang yang dirasa telah membuka hatinya kepadaku, bagaimanapun orang yang dirasa pantas bagiku.
Tiada yang kurasa lebih membukakan hatiku dibanding ia, tiada pula yang kurasa cukup lebih pantas darinya.
Yang kubutuhkan hanyalah waktu. Time, ain't nothin, but time. It's a verse with no rhyme, and it all comes down to her.
Aku tidak takut jika pada akhirnya ia memilih orang lain karena aku tak bersegera. Dalam hal mencintai siapapun, aku rasa tak ada seorangpun yang akan memikirkan perasaannya sendiri.
Jika dengan tulus mencintai seseorang, kita pasti akan percaya bahwa pilihan yang diambil olehnya adalah benar sesuai hatinya. Jika dia memilih bahagia dengan keputusannya sendiri, kenapa kita yang mencintainya kalut dalam duka? Kenapa tidak ikut berbahagia?
Cinta bukan melulu soal memiliki. Cinta sesungguhnya adalah ikut bahagia mengetahui yang kita cintai berbahagia. Aku sendiri lebih memilih untuk tak dicintai jika aku tidak dapat membahagiakan siapapun, terutama untuk orang yang aku cintai.
Cinta bukan melulu soal memiliki. Cinta sesungguhnya adalah ikut bahagia mengetahui yang kita cintai berbahagia. Aku sendiri lebih memilih untuk tak dicintai jika aku tidak dapat membahagiakan siapapun, terutama untuk orang yang aku cintai.
Analoginya, jika kita menyukai bunga di suatu kebun dan memetiknya untuk dibawa pulang, akankah bunga itu tetap mengembang cantik dan wangi seperti adanya? Bunga yang telah kita petik memang akan menghiasi pojok kamar, membuat suasana menjadi feminin, lebih sedap dipandang. Tak peduli mau bagaimanapun kita merawatnya, hanya butuh kurang dari seminggu, bunga tersebut akan menjadi layu, warnanya menjadi keruh, tidak lagi wangi. Bunga itu akan mati dan berhenti menjadi apa yang kita sukai. Berakhir di tempat sampah.
Menjadikan kita sebenarnya egosentris. Hanya diri sendiri yang dipikirkan.
Adakah kita memikirkan diri sendiri dalam hal mencintai secara penuh? Kurasa tidak ada. Jika kamu tidak pernah merasakan cinta yang seperti itu, mungkin saja kamu belum pernah benar-benar mencintai. Begitu juga aku. Hanya berbekal yakin, itupun baru semenjak mengenalnya.
Kalau saja di antaramu ada yang berpikir hal di atas adalah termasuk cinta yang berlebihan, aku juga setuju. Walaupun memang segala hal yang berlebihan tak pernah baik, dan tak juga akan berakhir dengan baik. Tapi adakah sesungguhnya akhir yang baik dalam urusan mencintai dan dicintai? Kurasa tidak ada. Coba pikirkan kembali.. Apa yang dirasa baik untuk kita belum tentu dinilai baik oleh orang lain, kan? Tujuan kita hidup memang bukan untuk menyenangkan semua orang, dan sayangnya itu bukanlah hal yang baik.
Kembali lagi, cinta bukan melulu soal memiliki. Terkadang mewujudkan cinta hanya dalam bentuk mengapresiasi tiap keindahannya pun dibutuhkan.
Mungkin klise, mungkin kamu pernah atau sering mendengar ungkapan seperti itu. Menurutku setidaknya, yang aku yakini selama ini. Tak masuk akalkah bagimu?
Dalam hal mencintai dan dicintai, kita memang seringkali diharuskan untuk mengesampingkan akal sehat kita. Karena cinta berurusan dengan jiwa, sementara akal sehat selalu hanya menuntut definisi yang seharusnya dapat dipahami. Tidak semua hal bisa dipahami. Tentu saja hal yang tak dapat dipahami bukan saja rahasia Tuhan, melainkan juga cinta sebagai salah satunya.
Seperti kata temanku yang teringat, menyatu tak harus dalam satu ikatan. Cukup batin yang terekat kuat. Aku tetap percaya, ia untukku sebagai apapun itu. Entah sebagai kekasih, teman, atau apapun.
Bagi mereka, atau kamu yang tak menganggap diam itu emas; diam tak selalu buruk, ada kalanya diam akan menghasilkan kilau yang lebih cemerlang daripada emas.
-
Dengan menggunakan kutipan dari Jon Bon Jovi, Osho, dan Baidui.
-
Dengan menggunakan kutipan dari Jon Bon Jovi, Osho, dan Baidui.
Monday, October 27, 2014
Bahagia
Post ini adalah tugas individu yang diberikan saat mata kuliah Kesehatan Mental semester empat lalu, yang tak sengaja ditemukan saat iseng membuka-buka folder kuliah. Berisikan tiga pertanyaan sederhana berkaitan dengan kebahagiaan, tugas ini merupakan yang terbaik selama saya berkuliah psikologi, dengan mengentahkan jawabnya benar atau salah. Silahkan dibaca jika ingin mengenali saya lebih dalam, syukur jika dapat sedikit menginspirasi. :)
1. Apakah saya bahagia?
Saya berbahagia dengan hidup saya saat ini. Keluarga yang akan selalu ada untuk saya, teman-teman yang menyenangkan karena kami saling memahami dan mengerti satu sama lain, membuat lubang-lubang lain di celah hidup menjadi tidak terlihat.
Saya juga termasuk orang yang sangat beruntung karena dibandingkan banyak orang lain yang belum juga menemukan gairah hidupnya, saya sudah telah lama menemukan passion saya dalam berkehidupan, yaitu bermusik, dan dengan bidang akademiknya yaitu psikologi.
Musik adalah jiwa saya. Musik itu indah, penuh warna, tak terbatas. Layaknya harmonisasi ribuan galaksi yang berputar pelan, Anda bisa membuatnya diam, melompat-lompat riang, berlari, atau bahkan saling bertubrukan diiringi ledakan maha dahsyat. Keunikan musik dan potensi-potensi yang dapat digali darinya yang membuatku tak pernah lelah tersesat di dalamnya.
Saya juga memutuskan untuk mencoba menggeluti dunia psikologi karena saya ingin menjadi life observer. Memang tak berbeda jauh dengan memahami ranah filsafat, namun dengan berfokus mempelajari, mengerti ketetapan-ketetapannya dan mengetahui kemungkinan-kemungkinan bagaimana "jiwa" manusia dapat bertransformasi menjadi apa saja, maka setidaknya menurut saya, Anda sudah bisa dibilang memahami sebagian arti hidup sebenarnya. Anda lebih dapat mengendalikan diri sendiri karena anda memahaminya luar dalam, pun orang lain. Karenanya menjadi life observer, seharusnya Anda bisa menjadi apa saja. Inilah keyakinan yang saya percayai dari dulu hingga sekarang.
Dengan tidak berfokus kepada kekurangan-kekurangan, dan terus menemukan dan memaksimalkan potensi-potensi yang ada dalam diri sendiri, maka sekali lagi, saya putuskan saya berbahagia saat ini.
2. Apa saja yang membuat saya bahagia?
Kehidupan sosial saya mungkin menjadi salah satu faktor terbesar saya dalam membuat saya bahagia. Adanya apresiasi, pengakuan diri dan konformitas yang terjadi di lingkungan sayalah yang berpengaruh besar dalam membuat saya bahagia.
Selain itu, penyaluran hobi dan minat saya pun tidak terganggu. Bahkan bisa dibilang, mimpi terbesar saya untuk menjadi musisi sudah terbuka lebar untuk saya saat ini. Saya telah bertemu dengan banyak orang-orang hebat dalam bidang musik dan bahkan bisa berteman dekat serta bekerjasama dengan sebagian orang-orang tersebut, yang secara jelas menginspirasi saya untuk terus maju apapun halangannya.
Sekali lagi, karena adanya mimpi. Mimpi-mimpi besar saya yang membuat saya bahagia. Saya hidup untuk mengejar mimpi, dan saya rasa hidup dimaksudkan untuk itu. Dari kecil saya terus didoktrin dan diberi persepsi untuk selalu optimis oleh keluarga saya, dan mereka berhasil. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita berniat untuk mengusahakannya. Untuk memantaskan diri atas mimpi-mimpi kita.
3. Apa yang akan saya lakukan agar saya merasa bahagia?
Mimpi-mimpi saya mengajarkan saya secara tidak langsung bahwa hidup ini sangat bermakna. Saya berkepribadian dan berlaku bagaimana adanya saat ini karena adanya dorongan untuk mencapai mimpi itu. Seperti yang telah saya ucapkan di atas, saya terus mengupayakan agar menjadi pantas bagi mimpi-mimpi saya, dan saya pun merasa bahagia untuk melakukannya, tanpa melenceng dari apa yang benar. Saya terus mencoba untuk berikhtiar di jalan-Nya.
Meyakini Allah selalu mendengar doa kita pun membuat saya bahagia, dan hal itu sudah banyak terbukti di dalam kehidupan saya. Di sini saya mengakui kuasa Allah atas semua hal yang terjadi kepada saya, karena saya mempercayai adanya Law of Attraction, adanya hukum tarik-menarik yang telah diturunkan kepada Allah untuk umatnya.
Hukum tarik-menarik disini sebenarnya tidak terjadi layaknya keajaiban seperti kedengarannya, melainkan sangat sederhana, dan sudah saya buktikan dari dulu. Jika kita menginginkan sesuatu, bayangkanlah hal itu terus-menerus, dan bahkan jika perlu bersenanglah seperti keinginan kita sudah terkabul. Ucapkan dalam doa, pikirkan sebelum tidur, batinkan kembali ketika bangun dari tidur. Bersungguh-sungguhlah dalam mengharapkan sesuatu, maka ilmiahnya, sadar ataupun tidak, Anda pun akan bertanggung jawab dalam mewujudkan keinginan Anda tanpa merasa tertekan dan sampai akhirnya takjub ketika menjadi nyata.
Dari dulu ketika saya ingin masuk SMP Negeri favorit, saya sungguh sangat menginginkannya, tapi apakah saya hanya berharap saja, lalu diam? Saya pun berusaha untuk memantaskan diri agar hal itu dapat terjadi, sehingga saya bisa rajin dalam belajar, sampai akhirnya keinginan itu tercapai. Hal itu pun terulang ketika saya ingin masuk SMA Negeri dan juga untuk berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekali lagi, sadar maupun tidak, jika kita benar-benar bersungguh-sungguh, apapun pasti dapat tercapai.
Namun ada satu hal disini yang saya perhatikan, jika keinginan kita mungkin tidak tercapai padahal kita sudah bersungguh-sungguh, yakini saja Allah sudah merencanakan sesuatu yang lebih baik dari apa yang sebenarnya kita inginkan, karena sesungguhnya jenis doa itu ada 3 macam: 1. Yang dikabulkan, 2. Yang ditunda, 3. Yang diganti dengan yang lebih baik lagi. Saya meyakini itu dan saya pun dapat hidup bahagia tanpa berlama-lama larut dalam kesedihan.
Intinya, jika kita optimis dalam memandang sesuatu dalam hidup, kita pun dapat melihat segala hikmah dari apapun yang terjadi. Itu yang orangtua saya ajarkan semenjak kecil, dan saya tetap memegang teguh kalimat-kalimat itu sampai sekarang, semata-mata agar saya dapat menjadi apa yang saya inginkan, dan supaya agar saya bahagia.
1. Apakah saya bahagia?
Saya berbahagia dengan hidup saya saat ini. Keluarga yang akan selalu ada untuk saya, teman-teman yang menyenangkan karena kami saling memahami dan mengerti satu sama lain, membuat lubang-lubang lain di celah hidup menjadi tidak terlihat.
Saya juga termasuk orang yang sangat beruntung karena dibandingkan banyak orang lain yang belum juga menemukan gairah hidupnya, saya sudah telah lama menemukan passion saya dalam berkehidupan, yaitu bermusik, dan dengan bidang akademiknya yaitu psikologi.
Musik adalah jiwa saya. Musik itu indah, penuh warna, tak terbatas. Layaknya harmonisasi ribuan galaksi yang berputar pelan, Anda bisa membuatnya diam, melompat-lompat riang, berlari, atau bahkan saling bertubrukan diiringi ledakan maha dahsyat. Keunikan musik dan potensi-potensi yang dapat digali darinya yang membuatku tak pernah lelah tersesat di dalamnya.
Saya juga memutuskan untuk mencoba menggeluti dunia psikologi karena saya ingin menjadi life observer. Memang tak berbeda jauh dengan memahami ranah filsafat, namun dengan berfokus mempelajari, mengerti ketetapan-ketetapannya dan mengetahui kemungkinan-kemungkinan bagaimana "jiwa" manusia dapat bertransformasi menjadi apa saja, maka setidaknya menurut saya, Anda sudah bisa dibilang memahami sebagian arti hidup sebenarnya. Anda lebih dapat mengendalikan diri sendiri karena anda memahaminya luar dalam, pun orang lain. Karenanya menjadi life observer, seharusnya Anda bisa menjadi apa saja. Inilah keyakinan yang saya percayai dari dulu hingga sekarang.
Dengan tidak berfokus kepada kekurangan-kekurangan, dan terus menemukan dan memaksimalkan potensi-potensi yang ada dalam diri sendiri, maka sekali lagi, saya putuskan saya berbahagia saat ini.
2. Apa saja yang membuat saya bahagia?
Kehidupan sosial saya mungkin menjadi salah satu faktor terbesar saya dalam membuat saya bahagia. Adanya apresiasi, pengakuan diri dan konformitas yang terjadi di lingkungan sayalah yang berpengaruh besar dalam membuat saya bahagia.
Selain itu, penyaluran hobi dan minat saya pun tidak terganggu. Bahkan bisa dibilang, mimpi terbesar saya untuk menjadi musisi sudah terbuka lebar untuk saya saat ini. Saya telah bertemu dengan banyak orang-orang hebat dalam bidang musik dan bahkan bisa berteman dekat serta bekerjasama dengan sebagian orang-orang tersebut, yang secara jelas menginspirasi saya untuk terus maju apapun halangannya.
Sekali lagi, karena adanya mimpi. Mimpi-mimpi besar saya yang membuat saya bahagia. Saya hidup untuk mengejar mimpi, dan saya rasa hidup dimaksudkan untuk itu. Dari kecil saya terus didoktrin dan diberi persepsi untuk selalu optimis oleh keluarga saya, dan mereka berhasil. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita berniat untuk mengusahakannya. Untuk memantaskan diri atas mimpi-mimpi kita.
3. Apa yang akan saya lakukan agar saya merasa bahagia?
Mimpi-mimpi saya mengajarkan saya secara tidak langsung bahwa hidup ini sangat bermakna. Saya berkepribadian dan berlaku bagaimana adanya saat ini karena adanya dorongan untuk mencapai mimpi itu. Seperti yang telah saya ucapkan di atas, saya terus mengupayakan agar menjadi pantas bagi mimpi-mimpi saya, dan saya pun merasa bahagia untuk melakukannya, tanpa melenceng dari apa yang benar. Saya terus mencoba untuk berikhtiar di jalan-Nya.
Meyakini Allah selalu mendengar doa kita pun membuat saya bahagia, dan hal itu sudah banyak terbukti di dalam kehidupan saya. Di sini saya mengakui kuasa Allah atas semua hal yang terjadi kepada saya, karena saya mempercayai adanya Law of Attraction, adanya hukum tarik-menarik yang telah diturunkan kepada Allah untuk umatnya.
Hukum tarik-menarik disini sebenarnya tidak terjadi layaknya keajaiban seperti kedengarannya, melainkan sangat sederhana, dan sudah saya buktikan dari dulu. Jika kita menginginkan sesuatu, bayangkanlah hal itu terus-menerus, dan bahkan jika perlu bersenanglah seperti keinginan kita sudah terkabul. Ucapkan dalam doa, pikirkan sebelum tidur, batinkan kembali ketika bangun dari tidur. Bersungguh-sungguhlah dalam mengharapkan sesuatu, maka ilmiahnya, sadar ataupun tidak, Anda pun akan bertanggung jawab dalam mewujudkan keinginan Anda tanpa merasa tertekan dan sampai akhirnya takjub ketika menjadi nyata.
Dari dulu ketika saya ingin masuk SMP Negeri favorit, saya sungguh sangat menginginkannya, tapi apakah saya hanya berharap saja, lalu diam? Saya pun berusaha untuk memantaskan diri agar hal itu dapat terjadi, sehingga saya bisa rajin dalam belajar, sampai akhirnya keinginan itu tercapai. Hal itu pun terulang ketika saya ingin masuk SMA Negeri dan juga untuk berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekali lagi, sadar maupun tidak, jika kita benar-benar bersungguh-sungguh, apapun pasti dapat tercapai.
Namun ada satu hal disini yang saya perhatikan, jika keinginan kita mungkin tidak tercapai padahal kita sudah bersungguh-sungguh, yakini saja Allah sudah merencanakan sesuatu yang lebih baik dari apa yang sebenarnya kita inginkan, karena sesungguhnya jenis doa itu ada 3 macam: 1. Yang dikabulkan, 2. Yang ditunda, 3. Yang diganti dengan yang lebih baik lagi. Saya meyakini itu dan saya pun dapat hidup bahagia tanpa berlama-lama larut dalam kesedihan.
Intinya, jika kita optimis dalam memandang sesuatu dalam hidup, kita pun dapat melihat segala hikmah dari apapun yang terjadi. Itu yang orangtua saya ajarkan semenjak kecil, dan saya tetap memegang teguh kalimat-kalimat itu sampai sekarang, semata-mata agar saya dapat menjadi apa yang saya inginkan, dan supaya agar saya bahagia.
Thursday, October 16, 2014
Renjana
ada sepasang kasih
yang tidak takut gelap
karena gelap takut dengan percakapan gurau manja
sampai seberang
bahkan ketika pekat dimana bulan mati beristirahat
dan tak berbintang
mereka berjalan pulang bersama menuju muara
bertaruh siapa yang lebih lama
tanpa terang
tidak takut
karena terkadang dalam pola titinada kabutnya
mereka berbaring hanya dengan punggungnya
di tengah jalan gunduknya
memandang lurus sampai bintang kembali berkedip
kepada mereka
meniup bubuk biru
tanpa sendu
mengecup dingin karam
tanpa muram
membisik mantra magis
tanpa ringis
resah desah gelisah
rebah
ruang dan waktu
lupa dan tersesat
lupa dunia
terbawa aduk liukan malam
yang tidak takut gelap
karena gelap takut dengan percakapan gurau manja
sampai seberang
bahkan ketika pekat dimana bulan mati beristirahat
dan tak berbintang
mereka berjalan pulang bersama menuju muara
bertaruh siapa yang lebih lama
tanpa terang
tidak takut
karena terkadang dalam pola titinada kabutnya
mereka berbaring hanya dengan punggungnya
di tengah jalan gunduknya
memandang lurus sampai bintang kembali berkedip
kepada mereka
meniup bubuk biru
tanpa sendu
mengecup dingin karam
tanpa muram
membisik mantra magis
tanpa ringis
resah desah gelisah
rebah
ruang dan waktu
lupa dan tersesat
lupa dunia
terbawa aduk liukan malam
Friday, October 10, 2014
Ia
agviatri copyright
Hari itu sudah sore, namun langit masih biru terik, hanya setipis rebah kaca yang memisahkan udara panas gersang dan dingin sejuk di dalam sini. Suasana nyaman diselingi riuh rendah percakapan asing dan juga alunan tenang saxophone bernada tenor dari Joshua Redman yang dilantunkan lembut oleh speaker kecil di pojok langit ruangan, ditemani pumpkin spice latte dingin dengan sepiring kecil bagel berbalut krim keju, tak ayal coffee shop yang berada di keramaian pusat kota ini kujadikan tempat favoritku untuk menghindar sejenak dari kepenatan memapani hidup. Membuatku tak jarang berlebihan memikirkan; apakah surga kelak akan dapat lebih damai dari tempat ini?
Tak lama sebelum memutuskan untuk menyudahi sesi tenang ini, aku terpancing oleh tawa segerombol perempuan yang tak jauh dari tempat duduk nyamanku ini. Tiga orang, bukan, ada empat orang yang berkumpul di sana. Orang keempat yang hanya tertawa kecil nampaknya, gelaknya tak terdengar, hampir luput dari atensiku.
Matanya kecil merajuk dari kejauhan, indah separuh bidadarinya tak terhalang walaupun dilapisi kacamata berlensa tipis, dan, ya ampun, senyumnya membuatku hampir tersedak. Lengkung bulan rasanya tiada meneduhkan jika disaingi oleh sungging bibirnya, dihiasi kawat gigi merah arbei. Merah jambu bibir tipisnya, tampak baik menghasut manis beserta segar tirus pipinya, lucu bulat hidungnya, mungil tajam dagu yang membuat wajahnya menjadi oval telur angsa. Membuatku sedikit lemas seperti terbius karena terpana. Tuhan sekaliber sang seniman pasti dalam keadaan yang sangat serius ketika menguleni wajah cantiknya dulu.
Ia, ada yang spesial dari dirinya. Ada percikan yang dipancarkan darinya, tiba-tiba perutku serasa digelitik kupu-kupu yang mengambang gaduh dari dalam. Mungkin perasaan inilah yang dirasakan Adam ketika pertama kali melihat sosok Hawa dalam asri tentramnya surga.
-
Aku benar-benar tak bisa diam saja. Kuhampiri ia setelah merapihkan kerah, menyeka pergelangan tangan dan leherku memakai eau de cologne Starwalker dari Mont Blanc agar setidaknya bau asap rokok menjadi samar, dan membersihkan flat boots Red Wing hitamku dengan tisu basah khusus agar mengkilap dengan cepat.
Aku menyapanya dan teman-temannya lalu duduk di bangku sofa yang kosong di sebelahnya, menyalaminya, dan meminta namanya. Safira, katanya. Aku bilang pantas saja dia berkilau dari kejauhan. Ya, layaknya batu safir. Teman-temannya heboh menertawakan gombal norak yang telah sesal kuucapkan tadi. Tapi ia pun ikut tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Ya Tuhan, betapa senangku.
Kuperhatikan ia. Suaranya halus pelan tapi meyakinkan seperti tidak pernah ada dusta. Melihat gerak-geriknya sepertinya ia pemalu, membuatku tersenyum kala kupandang tingkahnya. Tubuhnya mengeluarkan harum vanila yang lembut mahal namun menyenangkan. Hijab pink fuscia-nya tertata anggun sederhana. Ia memakai blus rouge, juga terusan rok span sampai hampir mata kaki yang senada dengan wedges-nya.
Setelah basa-basi sekian menit, aku menanyakan nomor handphone-nya, berharap esok temu. Hingga akhirnya teman-temannya dan ia pamit lalu berdiri, aku dapat melihat tas kecil coklat yang digaet lengan kanannya bercorak puppies kecil. Seiring ia berjalan menjauh, aku juga dapat mendengar denting pelan genta-genta kecil dari gelang yang melekat di pergelangan kaki kirinya.
Safira namanya, kuucap pelan berkali-kali. Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah.
-
Kala itu di akhir minggu, aku berjanji untuk bertemu lagi dengannya di sudut taman kota. Aku berlari kecil sesampainya di muka taman karena sedikit telat, namun ketika dari jauh aku sudah dapat melihat ia yang sedang duduk memangku tas kecilnya sembari memandangi langit di bawah pohon cedar, langkahku menjadi pelan. Teguk sejuk bercampur sedikit rasa tegang menguasai diriku, hanya untuk mengetahui bahwa aku dinantikan olehnya.
Aku menyapanya dan langsung meminta maaf karena telat, dan seolah tak jadi masalah sama sekali, ia tersenyum. Aku sempat merasa silau, kaku untuk sedetik-dua detik, menjadikanku segera tahu kelemahanku. Agak gentar ketika aku mencoba untuk duduk di sampingnya.
Hari itu terasa sangat cepat, kusadari setelah melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu rumah yang ditutupnya. Aku sempat duduk lama terdiam untuk tersenyum membayangkannya kembali. Dari kencan pertamaku dengan ia yang tak lama, aku seperti sudah memahaminya betul. Ramah kalem layaknya tak pernah panik, ringan senyum, mudah tertawa. Ia juga pintar, diskusi beberapa hal yang serius dengannya sangat menyenangkan, menunjukkan dirinya mempunyai pikiran yang luas dan terbuka. Senang membaca novel fiksi, khususnya roman, dan juga buku ilmiah layaknya ilmu psikologi, astronomi, bahkan filsafat. Segala hal mengenainya yang berlawanan denganku tertutup pula dengan berbagai kesamaan yang tak sedikit.
Tak sampai hampir dua bulan semenjak itu, aku dan ia berpacaran. Berbagai tempat yang indah kami jelajahi, makanan lezat kami cicipi, momen-momen berharga kami alami bersama-sama. Sudah banyak waktu, tenaga, dan pikiranku dihabiskan untuk ia, tak pernah sedikit pun terlintas rasa lelah, bosan dan sia-sia menghampiri.
Aku mengerti ia sepenuhnya dan juga sebaliknya ia terhadapku, tapi kami berdua tidak percaya akan cinta apa adanya. Don't be yourself if you can be the best of yourself. Aku dan ia saling mengkoreksi, sama-sama mengingatkan apa yang perlu dibenarkan dari sikap, sifat, dan perilaku buruk yang kami yakin bisa diubah demi pribadi yang lebih baik, juga secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada hubungan kami. Aku bisa berhenti merokok, ia bisa membatasi gula yang berlebih pada minuman dan dessert-nya sebagai salah sepele duanya, tanpa memaksa, selalu dengan arti dukungan penuh untuk berubah.
Sampai tiba saatnya aku melamarnya, di bawah redup tentram sinar rembulan yang menembus masuk melalui jendela besar putih dalam sebuah restoran klasik bergaya renaissance yang berada di selatan kota, aku mengalunkan denting lembut dari Steinway Baby Grand Piano, turun satu oktaf kunyanyikan lagu Never Felt This Way dari Brian McKnight untuknya yang berdiri memegangi seikat mawar putih pemberianku, dihiasi cincin sakral permata putih yang melingkari jari manis kirinya, dengan rona senyum dan titik air yang mengalir pelan dari sudut matanya, tak jauh dariku..
Di hari pernikahan aku dan ia, tak akan pernah kulupa. Ia serba putih merona, mengembang merak sempurna saat itu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku bersanding dengannya, karena memang mustahil sebenarnya aku kuasa mendefinisikannya. Tersebab definisi lazimnya bertautan dengan logika, sementara cinta berurusan dengan jiwa. Sepasang jiwa yang telah terpaut lalu menyatu tanpa cela, tanpa cacat. Berkali-kali bisikku betapaku mencintai ia, dengan senyum yang memuai seperti selalu, ia membalasnya dengan meyakinkanku bahwa ia sepenuhnya milikku, dan aku adalah segalanya untuknya.
Inilah kami, terduduk di atas taburan bunga dengan remang magis menari-nari. Saling memandang malu, saling menunggu, siapa yang memulai pertama kali. Bubuk biru berkilauan ketika tiap kali kami berkedip, peluh kami tak pernah berhenti menjadi seakan kristal kecil dibuatnya. Ibarat untuk tahu dimana titik nolnya, kami harus bisa melihat bayang-bayang. Poros tersebut merupakan axis mundi. Digambarkan layaknya dalam pertemuan lingga yoni. Bersama-sama berusaha mencapainya dan kami takluk gempita saat berhasil menggapainya.
Lalu aku menantikan pagi yang diisi dengan memeluk dan menikmati sisa aroma tubuhnya. Ya, harum tengkuknya di ujung hidungku, halus uraian rambutnya membelai pejam mataku, hangat lembut perutnya di kedua tanganku yang mengait. Seperti aku ingin selamanya.
Tiap malam aku selalu menjadi pulang untuknya, lalu merebahkan kepala di pangkuannya, menceritakan hariku dengan usapan lembut tangannya mengurai rambutku. Melihatnya asyik di dapur, lalu memeluknya pelan dari belakang agar tidak mengganggu, diiringi kecup terima kasih. Menghabiskan malam yang tenang berdua di halaman rumah, berbaring mencoba menghitung jutaan bintang terang di atas langit. Diam-diamku berharap waktu berhenti.
Ia melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Kunamakan Mikayl dan Mikayla, dengan harapan pembawa kesejukan dan rizki selalu bagi tiap umat manusia.
Dalam mengasuh mereka, aku terkadang melihat sosok ibuku di sosoknya. Perasaan melindungi dari segala ancaman dan kasih sayang yang sempurna pada sang ibu terhadap sang anak membuatku takjub dan kagum terhadapnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh, satu kali pun, tak pernah. Segala tangisan dan rengekan ditanggapnya dengan senyum ikhlas dan penuh cinta. Inilah wanita hebat dalam artian yang sesungguhnya.
Anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang tampan dan cantik, juga cerdas. Aku menerapkan pengetahuan musik kepada mereka semenjak kecil, sedangkan ia membiasakan dan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan bagi mereka. Namun terkadang ada saatnya mereka berbuat nakal saat menyentuh usia remaja, tetap pengaruhnya dalam hal mendidik anak dengan upaya mengingatkan dan tegas mengubahnya sangat besar.
Waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kami sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah menjadi 'orang'. Rambut kami sudah mulai memutih, langkah kami sudah mulai memelan, tubuh kami sudah mulai membungkuk. Ada kalanya ia ingin diyakinkan bahwa dirinya masih cantik bagiku, masih disayangi seperti sedia kala. Aku selalu berucap kepadanya dengan mengelus pipi dan tepi bibirnya bahwa walaupun usia kami terus bertambah, fisik kami telah menua, aku akan tetap mencintainya sebagaimana ia yang kulihat terakhir kali tiap malam, dan ia yang kulihat pertama kali tiap pagi.
Momen yang sangat tak kuinginkan pun akhirnya datang. Tak ada tanda, tak ada firasat, ia terjatuh lemas di kala membersihkan rak buku. Aku menyesal karena sangat panik pada saat itu. Sempat bertahan statis selama dua minggu, ia mengalami masa-masa kritis, sampai akhirnya dokter menyatakan waktunya takkan lama lagi.
Di kala keluarga besar kami berkumpul, ia ingin disediakan waktu berdua denganku. Jari-jarinya memeluk jari-jariku. Senyumnya tetap menuai manis gula seperti biasa. Suara yang keluar dari mulutnya parau.
"Terima kasih karena kamu telah mengajakku berkenalan di coffee shop saat itu, sore itu. Jika tidak.."
Hanya itu, belum selesai. Lalu matanya terpejam pelan, tarikan nafas panjangnya terdengar sendu sengau untuk terakhir kalinya. Tangannya yang mengait jari-jemariku perlahan lemas lepas.
Kenangan-kenangan indah bersamanya secara tak sadar terbesit begitu saja.
Aku tertiba melihat bayang dalam terang dua sosok kami yang pernah berjalan di taman, memuji kicau burung.
Kami yang pernah menyamakan langkah kaki, kanan dulu lalu kiri.
Kami yang pernah duduk di pantai, membangun istana pasir yang lebih terlihat seperti kandang sapi.
Kami yang pernah bergandengan tangan, menggenggamnya erat lalu mengayunnya dengan pelan.
Kami yang pernah menonton film yang tak terhitung banyaknya di kamar, dengan kepalanya yang selalu bersandar di dadaku.
Kami yang pernah mendaki gunung, juga menyelami biru laut.
Kami yang pernah tertawa karena aku terbangun kaget dengan suara dengkurku sendiri.
Kami yang pernah bertengkar karena perbedaan pendapat.
Kami yang pernah menangis karena anak kami tertimpa kecelakaan.
Kami yang pernah bermimpi. Dan kami yang pernah memberikan nama kepada bintang-gemintang.
Perasaan kalut mengharu-biru menguasai diriku. Sesak rasanya menusuk-nusuk dadaku. Tak ada udara yang bisa kuhisap. Membayangkan akan ditinggalkan olehnya dulu tak sepecah ini.
Ia sesungguhnya adalah landasan eksistensial kehadiranku. Aku dan ia saling memberi makna. Seandainya ia dimanipulasi olehku maka hakikatnya aku tengah mengkhianati diri sendiri, menghilangkan jejak makna dari jagat diri. Ia adalah modus wujudiah mengadanya aku sebagaimana aku menjadi alasan bagi kehadirannya.
Ia, wanita luar biasa. Karena ia, aku merasakan cinta Sang Pencipta melalui cintanya. Kasih sayangnya yang kurasakan tulus dan sangat besar tak pelak buatku bersyukur telah menjadi ciptaan Tuhan yang paling berbahagia di pelupuk bumi ini.
Sekarang dia tenggelam untuk terbit bersinar menjadi salah satu dari terang-benderang bintang jauh berjarak lain ruang dan waktu, memandangi pohon keluarganya yang akan terus tumbuh besar abadi dengan senyum alang rindunya yang terus berkedip kilau menghiasi wajahnya.
-
Aku tersentak kejut ketika handphone di sakuku bergetar. Terusan e-mail materi presentasi untuk membahas jalan keluar dari fluktuasi nilai dagang perusahaan tempatku bekerja, kasar menyuruhku segera berbenah pulang untuk mengerjakannya.
Langit sudah mulai meredup menjadi jingga terang, terdengar riuh rendah percakapan asing sudah mulai sepi, musik yang dialunkan dari speaker kecil di sudut langit ruangan berganti menjadi hip-hop yang tak pernah kudengar. Gelas plastik tinggi di depanku sudah tak berembun dingin, di piring kecil hanya tersisa remah-remah bagel coklat muda. Ah! Mendadak kupalingkan wajahku menuju tempat dimana ia berada tadi. Ia sudah tidak ada.
Aku memutarkan posisi tubuhku demi mencari dimana ia, hanya untuk melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Sepertinya ia sudah beranjak pergi dari lama tanpa sadarku.
Aku bergegas keluar dari coffee shop ini sembari meremas kesal lenganku. Tak pernah sesesal ini sebelumnya. Hanya berani tersesat dalam khayal. Imaji yang terkonsep matang dan terlukis sempurna tersembunyi di balik sepasang mata namun urung dituangkan dalam lembaran kertas yang belum terisi bernamakan suratan nasib masa depan. Sekarang tak ada guna menyumpahi diri sendiri atas kesempatan yang tidak diambil, kemungkinan cipta hubungan yang ditakuti bahkan untuk mengusahakannya terlebih dulu, dan keputusan yang terlalu lama untuk diputuskan.
Apa karena tanpa sadar aku merasa tidak pantas untuknya? Apa mungkin aku tak lebih dari pengecut yang tak berani berusaha lantas memikirkan rasionalisasi sebelumnya? Atau apakah memang takdir seorang diri ini memang tak segaris lurus dengan ia?
Pikiranku segera berhenti camuk ketika melihat ia dari samping yang mendongak pandang menuju papan nomor-nomor yang berganti pelan. Ia sedang menunggu lift.
Jantungku serasa terjun bebas menuju lantai. Aku menggenggam erat tas jinjingku agar tidak ikut juga terjatuh ke lantai. Ragu menghampiriku kembali tak lama sebelum aku menepisnya jauh. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang untuk ketiga atau keempat kalinya kecuali mukjizat. Hubungan yang mungkin terjadi dengan semua harmoni dengan iring simfoninya akan melampaui sekedar dunia khayal. Keputusan yang mungkin akan merubah hidupku untuk segalanya dan selama-lamanya.
Tarik nafas, pelan hembuskan. Kuhampiri dan kusapa ia..
"Hai."
Ia menoleh mencari sumber suara, lalu menatap mataku. Ia membalasnya, dan tersenyum.
Ya, dengan senyum alang rindunya, yang menuai manis gula, yang memuai seperti selalu, yang mengalahkan teduh lengkung bulan.
*
Started in Bandung at the end of July, completed in South Tangerang on Friday, October 10th 2014, 04.50 AM.
Matanya kecil merajuk dari kejauhan, indah separuh bidadarinya tak terhalang walaupun dilapisi kacamata berlensa tipis, dan, ya ampun, senyumnya membuatku hampir tersedak. Lengkung bulan rasanya tiada meneduhkan jika disaingi oleh sungging bibirnya, dihiasi kawat gigi merah arbei. Merah jambu bibir tipisnya, tampak baik menghasut manis beserta segar tirus pipinya, lucu bulat hidungnya, mungil tajam dagu yang membuat wajahnya menjadi oval telur angsa. Membuatku sedikit lemas seperti terbius karena terpana. Tuhan sekaliber sang seniman pasti dalam keadaan yang sangat serius ketika menguleni wajah cantiknya dulu.
Ia, ada yang spesial dari dirinya. Ada percikan yang dipancarkan darinya, tiba-tiba perutku serasa digelitik kupu-kupu yang mengambang gaduh dari dalam. Mungkin perasaan inilah yang dirasakan Adam ketika pertama kali melihat sosok Hawa dalam asri tentramnya surga.
-
Aku benar-benar tak bisa diam saja. Kuhampiri ia setelah merapihkan kerah, menyeka pergelangan tangan dan leherku memakai eau de cologne Starwalker dari Mont Blanc agar setidaknya bau asap rokok menjadi samar, dan membersihkan flat boots Red Wing hitamku dengan tisu basah khusus agar mengkilap dengan cepat.
Aku menyapanya dan teman-temannya lalu duduk di bangku sofa yang kosong di sebelahnya, menyalaminya, dan meminta namanya. Safira, katanya. Aku bilang pantas saja dia berkilau dari kejauhan. Ya, layaknya batu safir. Teman-temannya heboh menertawakan gombal norak yang telah sesal kuucapkan tadi. Tapi ia pun ikut tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Ya Tuhan, betapa senangku.
Kuperhatikan ia. Suaranya halus pelan tapi meyakinkan seperti tidak pernah ada dusta. Melihat gerak-geriknya sepertinya ia pemalu, membuatku tersenyum kala kupandang tingkahnya. Tubuhnya mengeluarkan harum vanila yang lembut mahal namun menyenangkan. Hijab pink fuscia-nya tertata anggun sederhana. Ia memakai blus rouge, juga terusan rok span sampai hampir mata kaki yang senada dengan wedges-nya.
Setelah basa-basi sekian menit, aku menanyakan nomor handphone-nya, berharap esok temu. Hingga akhirnya teman-temannya dan ia pamit lalu berdiri, aku dapat melihat tas kecil coklat yang digaet lengan kanannya bercorak puppies kecil. Seiring ia berjalan menjauh, aku juga dapat mendengar denting pelan genta-genta kecil dari gelang yang melekat di pergelangan kaki kirinya.
Safira namanya, kuucap pelan berkali-kali. Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah.
-
Kala itu di akhir minggu, aku berjanji untuk bertemu lagi dengannya di sudut taman kota. Aku berlari kecil sesampainya di muka taman karena sedikit telat, namun ketika dari jauh aku sudah dapat melihat ia yang sedang duduk memangku tas kecilnya sembari memandangi langit di bawah pohon cedar, langkahku menjadi pelan. Teguk sejuk bercampur sedikit rasa tegang menguasai diriku, hanya untuk mengetahui bahwa aku dinantikan olehnya.
Aku menyapanya dan langsung meminta maaf karena telat, dan seolah tak jadi masalah sama sekali, ia tersenyum. Aku sempat merasa silau, kaku untuk sedetik-dua detik, menjadikanku segera tahu kelemahanku. Agak gentar ketika aku mencoba untuk duduk di sampingnya.
Hari itu terasa sangat cepat, kusadari setelah melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu rumah yang ditutupnya. Aku sempat duduk lama terdiam untuk tersenyum membayangkannya kembali. Dari kencan pertamaku dengan ia yang tak lama, aku seperti sudah memahaminya betul. Ramah kalem layaknya tak pernah panik, ringan senyum, mudah tertawa. Ia juga pintar, diskusi beberapa hal yang serius dengannya sangat menyenangkan, menunjukkan dirinya mempunyai pikiran yang luas dan terbuka. Senang membaca novel fiksi, khususnya roman, dan juga buku ilmiah layaknya ilmu psikologi, astronomi, bahkan filsafat. Segala hal mengenainya yang berlawanan denganku tertutup pula dengan berbagai kesamaan yang tak sedikit.
Tak sampai hampir dua bulan semenjak itu, aku dan ia berpacaran. Berbagai tempat yang indah kami jelajahi, makanan lezat kami cicipi, momen-momen berharga kami alami bersama-sama. Sudah banyak waktu, tenaga, dan pikiranku dihabiskan untuk ia, tak pernah sedikit pun terlintas rasa lelah, bosan dan sia-sia menghampiri.
Aku mengerti ia sepenuhnya dan juga sebaliknya ia terhadapku, tapi kami berdua tidak percaya akan cinta apa adanya. Don't be yourself if you can be the best of yourself. Aku dan ia saling mengkoreksi, sama-sama mengingatkan apa yang perlu dibenarkan dari sikap, sifat, dan perilaku buruk yang kami yakin bisa diubah demi pribadi yang lebih baik, juga secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada hubungan kami. Aku bisa berhenti merokok, ia bisa membatasi gula yang berlebih pada minuman dan dessert-nya sebagai salah sepele duanya, tanpa memaksa, selalu dengan arti dukungan penuh untuk berubah.
Sampai tiba saatnya aku melamarnya, di bawah redup tentram sinar rembulan yang menembus masuk melalui jendela besar putih dalam sebuah restoran klasik bergaya renaissance yang berada di selatan kota, aku mengalunkan denting lembut dari Steinway Baby Grand Piano, turun satu oktaf kunyanyikan lagu Never Felt This Way dari Brian McKnight untuknya yang berdiri memegangi seikat mawar putih pemberianku, dihiasi cincin sakral permata putih yang melingkari jari manis kirinya, dengan rona senyum dan titik air yang mengalir pelan dari sudut matanya, tak jauh dariku..
"..when I look into your eyes, then I realize
That all I need is you, all I need is you in my life
'cause I never felt this way about lovin'
Never felt so good.."
Di hari pernikahan aku dan ia, tak akan pernah kulupa. Ia serba putih merona, mengembang merak sempurna saat itu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku bersanding dengannya, karena memang mustahil sebenarnya aku kuasa mendefinisikannya. Tersebab definisi lazimnya bertautan dengan logika, sementara cinta berurusan dengan jiwa. Sepasang jiwa yang telah terpaut lalu menyatu tanpa cela, tanpa cacat. Berkali-kali bisikku betapaku mencintai ia, dengan senyum yang memuai seperti selalu, ia membalasnya dengan meyakinkanku bahwa ia sepenuhnya milikku, dan aku adalah segalanya untuknya.
Inilah kami, terduduk di atas taburan bunga dengan remang magis menari-nari. Saling memandang malu, saling menunggu, siapa yang memulai pertama kali. Bubuk biru berkilauan ketika tiap kali kami berkedip, peluh kami tak pernah berhenti menjadi seakan kristal kecil dibuatnya. Ibarat untuk tahu dimana titik nolnya, kami harus bisa melihat bayang-bayang. Poros tersebut merupakan axis mundi. Digambarkan layaknya dalam pertemuan lingga yoni. Bersama-sama berusaha mencapainya dan kami takluk gempita saat berhasil menggapainya.
Lalu aku menantikan pagi yang diisi dengan memeluk dan menikmati sisa aroma tubuhnya. Ya, harum tengkuknya di ujung hidungku, halus uraian rambutnya membelai pejam mataku, hangat lembut perutnya di kedua tanganku yang mengait. Seperti aku ingin selamanya.
Tiap malam aku selalu menjadi pulang untuknya, lalu merebahkan kepala di pangkuannya, menceritakan hariku dengan usapan lembut tangannya mengurai rambutku. Melihatnya asyik di dapur, lalu memeluknya pelan dari belakang agar tidak mengganggu, diiringi kecup terima kasih. Menghabiskan malam yang tenang berdua di halaman rumah, berbaring mencoba menghitung jutaan bintang terang di atas langit. Diam-diamku berharap waktu berhenti.
Ia melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Kunamakan Mikayl dan Mikayla, dengan harapan pembawa kesejukan dan rizki selalu bagi tiap umat manusia.
Dalam mengasuh mereka, aku terkadang melihat sosok ibuku di sosoknya. Perasaan melindungi dari segala ancaman dan kasih sayang yang sempurna pada sang ibu terhadap sang anak membuatku takjub dan kagum terhadapnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh, satu kali pun, tak pernah. Segala tangisan dan rengekan ditanggapnya dengan senyum ikhlas dan penuh cinta. Inilah wanita hebat dalam artian yang sesungguhnya.
Anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang tampan dan cantik, juga cerdas. Aku menerapkan pengetahuan musik kepada mereka semenjak kecil, sedangkan ia membiasakan dan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan bagi mereka. Namun terkadang ada saatnya mereka berbuat nakal saat menyentuh usia remaja, tetap pengaruhnya dalam hal mendidik anak dengan upaya mengingatkan dan tegas mengubahnya sangat besar.
Waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kami sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah menjadi 'orang'. Rambut kami sudah mulai memutih, langkah kami sudah mulai memelan, tubuh kami sudah mulai membungkuk. Ada kalanya ia ingin diyakinkan bahwa dirinya masih cantik bagiku, masih disayangi seperti sedia kala. Aku selalu berucap kepadanya dengan mengelus pipi dan tepi bibirnya bahwa walaupun usia kami terus bertambah, fisik kami telah menua, aku akan tetap mencintainya sebagaimana ia yang kulihat terakhir kali tiap malam, dan ia yang kulihat pertama kali tiap pagi.
Momen yang sangat tak kuinginkan pun akhirnya datang. Tak ada tanda, tak ada firasat, ia terjatuh lemas di kala membersihkan rak buku. Aku menyesal karena sangat panik pada saat itu. Sempat bertahan statis selama dua minggu, ia mengalami masa-masa kritis, sampai akhirnya dokter menyatakan waktunya takkan lama lagi.
Di kala keluarga besar kami berkumpul, ia ingin disediakan waktu berdua denganku. Jari-jarinya memeluk jari-jariku. Senyumnya tetap menuai manis gula seperti biasa. Suara yang keluar dari mulutnya parau.
"Terima kasih karena kamu telah mengajakku berkenalan di coffee shop saat itu, sore itu. Jika tidak.."
Hanya itu, belum selesai. Lalu matanya terpejam pelan, tarikan nafas panjangnya terdengar sendu sengau untuk terakhir kalinya. Tangannya yang mengait jari-jemariku perlahan lemas lepas.
Kenangan-kenangan indah bersamanya secara tak sadar terbesit begitu saja.
Aku tertiba melihat bayang dalam terang dua sosok kami yang pernah berjalan di taman, memuji kicau burung.
Kami yang pernah menyamakan langkah kaki, kanan dulu lalu kiri.
Kami yang pernah duduk di pantai, membangun istana pasir yang lebih terlihat seperti kandang sapi.
Kami yang pernah bergandengan tangan, menggenggamnya erat lalu mengayunnya dengan pelan.
Kami yang pernah menonton film yang tak terhitung banyaknya di kamar, dengan kepalanya yang selalu bersandar di dadaku.
Kami yang pernah mendaki gunung, juga menyelami biru laut.
Kami yang pernah tertawa karena aku terbangun kaget dengan suara dengkurku sendiri.
Kami yang pernah bertengkar karena perbedaan pendapat.
Kami yang pernah menangis karena anak kami tertimpa kecelakaan.
Kami yang pernah bermimpi. Dan kami yang pernah memberikan nama kepada bintang-gemintang.
Perasaan kalut mengharu-biru menguasai diriku. Sesak rasanya menusuk-nusuk dadaku. Tak ada udara yang bisa kuhisap. Membayangkan akan ditinggalkan olehnya dulu tak sepecah ini.
Ia sesungguhnya adalah landasan eksistensial kehadiranku. Aku dan ia saling memberi makna. Seandainya ia dimanipulasi olehku maka hakikatnya aku tengah mengkhianati diri sendiri, menghilangkan jejak makna dari jagat diri. Ia adalah modus wujudiah mengadanya aku sebagaimana aku menjadi alasan bagi kehadirannya.
Ia, wanita luar biasa. Karena ia, aku merasakan cinta Sang Pencipta melalui cintanya. Kasih sayangnya yang kurasakan tulus dan sangat besar tak pelak buatku bersyukur telah menjadi ciptaan Tuhan yang paling berbahagia di pelupuk bumi ini.
Sekarang dia tenggelam untuk terbit bersinar menjadi salah satu dari terang-benderang bintang jauh berjarak lain ruang dan waktu, memandangi pohon keluarganya yang akan terus tumbuh besar abadi dengan senyum alang rindunya yang terus berkedip kilau menghiasi wajahnya.
-
Aku tersentak kejut ketika handphone di sakuku bergetar. Terusan e-mail materi presentasi untuk membahas jalan keluar dari fluktuasi nilai dagang perusahaan tempatku bekerja, kasar menyuruhku segera berbenah pulang untuk mengerjakannya.
Langit sudah mulai meredup menjadi jingga terang, terdengar riuh rendah percakapan asing sudah mulai sepi, musik yang dialunkan dari speaker kecil di sudut langit ruangan berganti menjadi hip-hop yang tak pernah kudengar. Gelas plastik tinggi di depanku sudah tak berembun dingin, di piring kecil hanya tersisa remah-remah bagel coklat muda. Ah! Mendadak kupalingkan wajahku menuju tempat dimana ia berada tadi. Ia sudah tidak ada.
Aku memutarkan posisi tubuhku demi mencari dimana ia, hanya untuk melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Sepertinya ia sudah beranjak pergi dari lama tanpa sadarku.
Aku bergegas keluar dari coffee shop ini sembari meremas kesal lenganku. Tak pernah sesesal ini sebelumnya. Hanya berani tersesat dalam khayal. Imaji yang terkonsep matang dan terlukis sempurna tersembunyi di balik sepasang mata namun urung dituangkan dalam lembaran kertas yang belum terisi bernamakan suratan nasib masa depan. Sekarang tak ada guna menyumpahi diri sendiri atas kesempatan yang tidak diambil, kemungkinan cipta hubungan yang ditakuti bahkan untuk mengusahakannya terlebih dulu, dan keputusan yang terlalu lama untuk diputuskan.
Apa karena tanpa sadar aku merasa tidak pantas untuknya? Apa mungkin aku tak lebih dari pengecut yang tak berani berusaha lantas memikirkan rasionalisasi sebelumnya? Atau apakah memang takdir seorang diri ini memang tak segaris lurus dengan ia?
Pikiranku segera berhenti camuk ketika melihat ia dari samping yang mendongak pandang menuju papan nomor-nomor yang berganti pelan. Ia sedang menunggu lift.
Jantungku serasa terjun bebas menuju lantai. Aku menggenggam erat tas jinjingku agar tidak ikut juga terjatuh ke lantai. Ragu menghampiriku kembali tak lama sebelum aku menepisnya jauh. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang untuk ketiga atau keempat kalinya kecuali mukjizat. Hubungan yang mungkin terjadi dengan semua harmoni dengan iring simfoninya akan melampaui sekedar dunia khayal. Keputusan yang mungkin akan merubah hidupku untuk segalanya dan selama-lamanya.
Tarik nafas, pelan hembuskan. Kuhampiri dan kusapa ia..
"Hai."
Ia menoleh mencari sumber suara, lalu menatap mataku. Ia membalasnya, dan tersenyum.
Ya, dengan senyum alang rindunya, yang menuai manis gula, yang memuai seperti selalu, yang mengalahkan teduh lengkung bulan.
*
Started in Bandung at the end of July, completed in South Tangerang on Friday, October 10th 2014, 04.50 AM.
Saturday, September 20, 2014
Spesial
Tidak ada seorang anak pun yang sejatinya bodoh. Segala anak yang tidak sesuai dengan standar normatif seperti tidak lihai dalam menguasai bidang akademik layaknya ilmu eksakta dan semacamnya itu tidak bodoh.
Cap bodoh seringkali diberikan ketika si anak tidak mampu mencapai target nilai yang diberlakukan. Faktanya, sekali lagi, kepandaian anak hanya terukur secara nilai-nilai akademik. Persepsi mayoritas akan terbentuk seperti itu tanpa melihat dari sisi lain.
Kemarahan orang tua kepada anak demi menggalakkan perilaku dan motivasi belajar si anak seringkali tak efektif, membuat belajar menjadi aktivitas yang dipaksakan dan tak disukai anak. Padahal, setiap anak akan belajar jika aktivitas pembelajaran itu menyenangkan dan bermakna baginya.
Peran orang tua dan guru seharusnya bisa memberikan pendidikan yang tidak disamaratakan karena tetap bahwa setiap manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan serta bakat dan potensi kecerdasan yang berbeda-beda.
Manusia bukan seperti pensil, yang tiap kegunaannya sama. Pengajar/pendidik bukanlah layaknya rautan, menjadikan tiap pensilnya menjadi runcing agar dapat digunakan untuk sekedar menulis atau menggambar. Manusia lebih dari itu, harus lebih dari sekedar itu.
Banyak sekali aspek-aspek yang tidak bisa diukur oleh sistem pendidikan kita, yang seharusnya disadari oleh mereka. Aspek-aspek seperti pemikiran kritis, kreativitas, pemecahan masalah, kepemimpinan, kemampuan berargumentasi, dan banyak lagi lain halnya. Tak hanya berfokus kepada nilai yang akan dan telah dicapai.
Kebanyakan dari kita dididik, dikotak-kotakkan, diseragamkan. Kejar sukses sesuai standar sosial (berprestasi di bidang yang ‘umum’). Taat aturan dan jauhi larangan, tanpa mempertanyakan.
Menghasilkan sebagian besar kita akhirnya menjadi manusia dengan mental pekerja, cari aman dan sering mendiamkan kesalahan. Banyak menuntut kelayakan tapi takut untuk benar-benar memperjuangkan.
Tiap anak itu spesial, dibutuhkan pula usaha yang spesial supaya tiap anaknya terus tumbuh menjadi manusia yang spesial.
-
Ada yang tidak lantang dalam berbicara, tidak pandai dalam mengolah dan menyuarakan kata, namun dapat menuangkan segala aspirasi yang ada di dalam kepalanya dengan mudah melalui tulisan.
Ada yang tidak cukup lihai dalam berolahraga, namun sekiranya mampu menuaikan nada indah melalui olah vokalnya, maupun juga permainan musiknya yang elok.
Ada yang selalu diam, namun kepalanya selalu berisik oleh galaksi-galaksi yang berputar miring, berhimpitan dalam manisnya keterikatan harmoni yang mengaturnya untuk bertabrakan sehingga seringkali timbul ledakan-ledakan yang mahadahsyat nan menakjubkan.
Ada yang selalu malas, namun sesungguhnya selalu sibuk berjuang untuk terbang jauh, meninggalkan banyak orang yang hanya berlari karena mereka beranggap hal itu merupakan satu-satunya cara terbaik menuju masa depan yang berlimpahkan cahaya matahari.
Ada yang selalu jatuh karena diremehkan, gagal aral melintang, eksistensi terpinggirkan, namun ada suara teriakan tersembunyi jauh di dalam hatinya yang tak pernah sunyi, memanaskan selalu bara gelora keyakinan bahwa suatu hari nanti akan datang masa dimana ianya berdiri tegak menantang langit batas, menembus asa yang hampir tidak mungkin, sehingga cap bodoh yang melekat akan menjadi sepatah kata tanpa arti.
Karena dia spesial.
Tiap anak itu spesial, dibutuhkan pula usaha yang spesial supaya tiap anaknya terus tumbuh menjadi manusia yang spesial.
-
Ada yang tidak lantang dalam berbicara, tidak pandai dalam mengolah dan menyuarakan kata, namun dapat menuangkan segala aspirasi yang ada di dalam kepalanya dengan mudah melalui tulisan.
Ada yang tidak cukup lihai dalam berolahraga, namun sekiranya mampu menuaikan nada indah melalui olah vokalnya, maupun juga permainan musiknya yang elok.
Ada yang selalu diam, namun kepalanya selalu berisik oleh galaksi-galaksi yang berputar miring, berhimpitan dalam manisnya keterikatan harmoni yang mengaturnya untuk bertabrakan sehingga seringkali timbul ledakan-ledakan yang mahadahsyat nan menakjubkan.
Ada yang selalu malas, namun sesungguhnya selalu sibuk berjuang untuk terbang jauh, meninggalkan banyak orang yang hanya berlari karena mereka beranggap hal itu merupakan satu-satunya cara terbaik menuju masa depan yang berlimpahkan cahaya matahari.
Ada yang selalu jatuh karena diremehkan, gagal aral melintang, eksistensi terpinggirkan, namun ada suara teriakan tersembunyi jauh di dalam hatinya yang tak pernah sunyi, memanaskan selalu bara gelora keyakinan bahwa suatu hari nanti akan datang masa dimana ianya berdiri tegak menantang langit batas, menembus asa yang hampir tidak mungkin, sehingga cap bodoh yang melekat akan menjadi sepatah kata tanpa arti.
Karena dia spesial.
Wednesday, June 18, 2014
60-20
Bapak sudah berumur 60 tahun, sedangkan aku akan berumur 20 tahun Agustus nanti. Tak terasa.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya terbangun di pelukannya menuju tempat tidur karena tertidur di depan televisi, namun aku berpura-pura masih berada di alam mimpi karena tak ingin beliau tahu bahwa aku nyaman dalam dekapannya dan menikmati tiap semilir wangi khas tubuhnya.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya diajari memainkan gitar dan piano olehnya, dengan tangannya yang besar, sedikit kasar, namun hangat menuntun jari-jari kecilku saat itu agar bisa melantunkan nada-nada merdu nan indah.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya punggungku dipukulinya dengan sapu lidi jika aku berbuat nakal seperti menyakiti adikku atau mencuri uang kembalian ibuku, namun setelah kemarahannya memudar, beliau seringkali secara tersirat mengungkapkan penyesalannya dengan mengajakku keluar untuk sekedar berjalan-jalan, lalu membelikanku layang-layang atau segenggam kelereng, juga terkadang es krim, permen, coklat, atau hal-hal lain yang aku sukai.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya bergumul dengan kakak dan adikku di dalam selimut, larut dalam cerita-ceritanya yang jenaka seperti kisah Abu Nawas, yang horor seperti kisah Dracula, atau bahkan pengalaman-pengalaman hidupnya yang penuh perjuangan dan berakhir mengagumkan.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya hancur berkeping-keping ketika melihat beliau yang kuanggap sebagai seorang bapak yang tegas dan kuat perkasa, menangis terisak-isak di akhir shalat-nya ketika ibu tirinya meninggal dunia, jauh di kampung halamannya.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya tertegun akan petuahnya dalam memaknai hidup dan kehidupan olehnya dengan intonasi yang berubah-rubah namun teratur dan sinkron dengan tiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, dari lembut menenangkan hingga lantang meyakinkan.
-
Hari Sabtu, tanggal 14 Juni kemarin, bapak berulangtahun.
Bapak tetap seperti yang dulu. Tetap ceria, humoris, energik, supel, namun juga tegas; sesungguhnya penuh perhatian, caranya saja yang keras.
Bapak tetap kuanggap sebagai sosok yang serba bisa. Beliau pandai sekali dalam memainkan (hampir) semua alat musik, juga bernyanyi. Beliau juga serba pandai dalam bidang olahraga seperti menembak, memancing, bermain tenis, futsal, tenis meja, voli, bulutangkis, dan masih banyak lagi. Beliau juga pemegang sabuk hitam dalam pencak silat. Masakannya selalu enak, sketsa/gambarnya selalu bagus, dan juga keluargaku jarang sekali memanggil ahli reparasi karena beliau selalu bisa membenarkannya kembali.
Bapak memiliki banyak sekali teman dari segala kalangan, segala usia. Aku seringkali dibuat heran sekaligus iri dengannya, karena beliau dengan mudah dapat dekat dan akrab kepada orang baru, siapapun itu. Pernah sekali waktu ada pengamen yang membawakan lagu dengan kunci gitar yang salah, beliau keluar untuk mengajak pengamen tersebut duduk di teras rumah lalu mengoreksinya dengan kunci yang benar, bahkan beliau juga mengajari lagu-lagu baru kepadanya.
Dan juga yang paling penting, di umurnya yang sudah memasuki kepala enam, Bapak masih sehat. Semenjak aku bisa mengingat, dari dulu beliau tidak pernah sakit berat dan sampai masuk rumah sakit walaupun beliau mantan perokok berat dan memiliki darah tinggi. Beliau masih terlihat muda di mataku, walaupun rambutnya sudah beruban, juga kulit wajah dan lehernya sudah banyak mempunyai kerutan.
Bapakku adalah bapak juara satu seluruh dunia. Malam ini adalah nyanyian sunyi rasa sayangku yang tak bertepi untuk beliau.
Semoga saja Bapak berumur panjang sehingga terus melihatku tumbuh besar menjadi seorang dewasa dan sukses lalu membuatnya menangis bahagia dan bangga, hingga ingin mengangkatku tinggi ke udara seperti bagaimana yang beliau lakukan saat aku kecil dulu.
Amin.
Tak terasa karena aku masih ingat rasanya tertegun akan petuahnya dalam memaknai hidup dan kehidupan olehnya dengan intonasi yang berubah-rubah namun teratur dan sinkron dengan tiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, dari lembut menenangkan hingga lantang meyakinkan.
-
Hari Sabtu, tanggal 14 Juni kemarin, bapak berulangtahun.
Bapak tetap seperti yang dulu. Tetap ceria, humoris, energik, supel, namun juga tegas; sesungguhnya penuh perhatian, caranya saja yang keras.
Bapak tetap kuanggap sebagai sosok yang serba bisa. Beliau pandai sekali dalam memainkan (hampir) semua alat musik, juga bernyanyi. Beliau juga serba pandai dalam bidang olahraga seperti menembak, memancing, bermain tenis, futsal, tenis meja, voli, bulutangkis, dan masih banyak lagi. Beliau juga pemegang sabuk hitam dalam pencak silat. Masakannya selalu enak, sketsa/gambarnya selalu bagus, dan juga keluargaku jarang sekali memanggil ahli reparasi karena beliau selalu bisa membenarkannya kembali.
Bapak memiliki banyak sekali teman dari segala kalangan, segala usia. Aku seringkali dibuat heran sekaligus iri dengannya, karena beliau dengan mudah dapat dekat dan akrab kepada orang baru, siapapun itu. Pernah sekali waktu ada pengamen yang membawakan lagu dengan kunci gitar yang salah, beliau keluar untuk mengajak pengamen tersebut duduk di teras rumah lalu mengoreksinya dengan kunci yang benar, bahkan beliau juga mengajari lagu-lagu baru kepadanya.
Dan juga yang paling penting, di umurnya yang sudah memasuki kepala enam, Bapak masih sehat. Semenjak aku bisa mengingat, dari dulu beliau tidak pernah sakit berat dan sampai masuk rumah sakit walaupun beliau mantan perokok berat dan memiliki darah tinggi. Beliau masih terlihat muda di mataku, walaupun rambutnya sudah beruban, juga kulit wajah dan lehernya sudah banyak mempunyai kerutan.
Bapakku adalah bapak juara satu seluruh dunia. Malam ini adalah nyanyian sunyi rasa sayangku yang tak bertepi untuk beliau.
Semoga saja Bapak berumur panjang sehingga terus melihatku tumbuh besar menjadi seorang dewasa dan sukses lalu membuatnya menangis bahagia dan bangga, hingga ingin mengangkatku tinggi ke udara seperti bagaimana yang beliau lakukan saat aku kecil dulu.
Amin.
Monday, June 9, 2014
Aku Beriman, Maka Aku Berpikir
Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu?
Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang.
Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kepadaku dengan kemampuan bebasnya sekali?
Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas.
Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.
Aku tidak ingin menjadi mereka yang lalai dalam ibadahnya. Bukan yang tidak melaksanakannya, tapi yang beribadah hanya untuk pengguggur kewajiban, sekedar takut akan ancamanmu tentang pedihnya neraka, dan tergiur akan kebahagiaan yang kekal di tempat yang dijanjikan oleh Engkau, yaitu surga. Tanpa mengerti apa makna dari ibadah itu sendiri. Tanpa memahami-Mu. Mencintaimu semata-mata karena sifat materialistik yang ada dalam tiap diri manusia.
Aku tidak ingin menjadi muslim yang tidak berpikir. Muslim yang mematuhi segala suruhan-Mu dan larangan-Mu hanya karena sepenuhnya berpasrah dari indoktrinasi agama-Mu yang dilakukan oleh orangtuaku sedari kecil, menjadikanku konservatif atas segala pemikiran atau nilai yang menyimpang dari apa yang sudah diterapkan walaupun sedikit.
Salahkah aku bila aku menggunakan pikiran-pikiran bebasku demi mencapai kebenaran-Mu?
Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru tanpa rasa takut akan dicap oleh sesama manusia.
Karena aku tahu, hanya Engkaulah yang berhak menilai keimanan seseorang.
Sekali lagi, aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.
Memahami manusia sebagai manusia.
Manusia bebas, manusia yang tidak terkekang, manusia yang tidak munafik. Manusia yang berjuang mencari kebenaran hakiki atas-Mu dari keragu-raguannya.
Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku pada-Mu akan pulih kembali.
-
Terinspirasi oleh Ahmad Wahib, seorang pemikir, dengan menggunakan dan mengembangkan beberapa penggalan kalimat dari catatan hariannya di dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam (1981).
Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang.
Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kepadaku dengan kemampuan bebasnya sekali?
Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas.
Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.
Aku tidak ingin menjadi mereka yang lalai dalam ibadahnya. Bukan yang tidak melaksanakannya, tapi yang beribadah hanya untuk pengguggur kewajiban, sekedar takut akan ancamanmu tentang pedihnya neraka, dan tergiur akan kebahagiaan yang kekal di tempat yang dijanjikan oleh Engkau, yaitu surga. Tanpa mengerti apa makna dari ibadah itu sendiri. Tanpa memahami-Mu. Mencintaimu semata-mata karena sifat materialistik yang ada dalam tiap diri manusia.
Aku tidak ingin menjadi muslim yang tidak berpikir. Muslim yang mematuhi segala suruhan-Mu dan larangan-Mu hanya karena sepenuhnya berpasrah dari indoktrinasi agama-Mu yang dilakukan oleh orangtuaku sedari kecil, menjadikanku konservatif atas segala pemikiran atau nilai yang menyimpang dari apa yang sudah diterapkan walaupun sedikit.
Salahkah aku bila aku menggunakan pikiran-pikiran bebasku demi mencapai kebenaran-Mu?
Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru tanpa rasa takut akan dicap oleh sesama manusia.
Karena aku tahu, hanya Engkaulah yang berhak menilai keimanan seseorang.
Sekali lagi, aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.
Memahami manusia sebagai manusia.
Manusia bebas, manusia yang tidak terkekang, manusia yang tidak munafik. Manusia yang berjuang mencari kebenaran hakiki atas-Mu dari keragu-raguannya.
Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku pada-Mu akan pulih kembali.
-
Terinspirasi oleh Ahmad Wahib, seorang pemikir, dengan menggunakan dan mengembangkan beberapa penggalan kalimat dari catatan hariannya di dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam (1981).
Friday, June 6, 2014
Untitled
Sejak aku memulainya. Yang ada hanya waktu yang berjalan begitu cepat. Percakapan yang tidak berakhir sempurna. Mata yang ngawur, seperti orang mengantuk. Prestasi yang jeblok. Semua doa orang lain tak sampai untukku. Ah, apakah memang ada?
Sholatku tak tenang. Mungkin semua hanya sugesti, pikirku. Terlalu kagum dengan paham agnostik. Iri kepada adik, kakak, dan keluarga dalam hal sholat mereka.
Badan yang rusak. Badan yang lemah. Racun terus masuk, terus konsumsi, bagaimana tidak. Hanya menuruti candu, nikmat sesaat, menyesal, besoknya mau lagi. Seperti masturbasi.
Penyesalan, sesekali. Absurditas. Ketidakmaksimalan. Kemunafikkan. Kegagalan. Ketidakbermanfaatan. Kehilangan, kecaman juga, mungkin. Surealis.
Wah, umurku sudah hampir 20 tahun. Ya. Tidak terasa. Bodoh! Kok? Sekarang belum kapok, mau jadi apa kau, nak? Ya, ampun. Ditipu daya. Keyakinan naik turun. Mau belajar tapi tak mau sungguh-sungguh berjuang.
Hidup ini seperti ditimpa tanah longsor; berat, menunggu ditolong orang lain, kalau tidak ya menunggu mati.
Yang ada kau dan setan. Jadi pandai-pandai menyegel diri.
Teman. Ya, setidaknya aku yang menganggap mereka teman. Lalu ada orang tua, keluarga, guru, dan lainnya, semua tertipu. Sebenarnya terhina. Kuhina. Kecuali yang tak nampak, makhluk halus tidak dihitung.
Mau bagaimana lagi? Siapa yang lebih dulu mulai membicarakan hina di belakang? Aku lebih memilih untuk ditembak tepat di dahiku sendiri, daripada punggungku yang ditusuk, lalu di kemudian hari aku baru mengetahui ada pisau yang menancap di belakangku sejak lama dan lalu merasakan sakitnya karena sudah membusuk.
Sekarang sudah hampir terkulai. Serasa berat kaki ini. Serasa buntu otak ini. Yang ada hanya abstrak. Tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, ini memang kebodohanku. Aku tidak boleh menyalahkan mereka. Yang ada aku, mulutku, nafsuku, kemudahan dan pertanggungjawaban. Semua sudah tertipu. Ma’afkan aku.
20 tahun yang terasa cepat. Tidak bermanfaat. Susah untuk kembali. Aku perlu pendamping dan pembimbing. Aku pikir jika aku mengaku maka aku menjadi terhina. Hina durjana. Sudah ribuan menitku, sepertinya, dirampasnya. Wah, aku merasa sudah dikalahkan.
Aku memang masih seperti dulu. Masih terperangkap dan belum juga beranjak pergi. Tarik aku. Angkat aku. Lalu banting ke dalam sumur. Yang gelap, pengap, sesak, angker, seperti terjebak di dalam kuburanku sendiri.
Anggap saja aku buta, tuli dan bisu. Semu. Semua tertipu. Hanya kami yang tahu. Kalian tidak. Mau diratap tapi tiada guna. Mau mati masih bangkrut. Mau hidup takut mengulangi hal yang sama.
Apa sebaiknya aku hijrah? Belajar agama dari nol.
Adakah yang mau denganku setelah semua ini? Tidak tahu siapa istriku nanti. Ah, bahkan aku tak bisa membayangkannya. Tak bisa membayangkan masa depanku..
Sekarang aku jujur, aku tidak mampu. Aku butuh waktu untuk belajar jadi orang yang bersih. Yang bisa mengantarkanku ke surga. Surga akhirat saja. Surga dunia tidak jadi tujuan, tidak apa-apa. Jadi sampah masyarakat, sekalipun. Jadi orang gila, telanjang. Malu? Kan gila, tapi bersih. Amalku bersih, ya.
Aku seperti binatang buas yang baru lepas kandang. Andai saja. Begini dan begitu. Tiap orang memang punya garis berbeda. Aku merasa aku sudah di pinggir palungku. Semoga aku tidak menginjak lumpur hidup, terhisap. Merasa sudah tua. Tidak berdaya. Yang ada di otakku itu itu saja. Umur bisa diperpanjang, nggak, ya?
Kenapa tidak ijinkan aku jadi penyebar agama saja? Kalau boleh. Kalau bisa. Pengamal agama. Pembeda dalam agama. Pembelajar. Orang yang punya target dan rencana. Orang yang tahu diri dan waktu.
Mungkin disini memang tempatku. Tempat kumuh yang baru. Antara menjadi cahaya atau menjadi kotoran. Mungkin batu kerikil di pinggir jalan, yang tidak akan pernah dipedulikan seseorang pun.
Oh, hidup!
Woy, hidup! Hidup sialan! Yang tidak memihakku! Bedebah! Jangan berakhir cepat sebelum aku bersih dan siap! Tapi jangan terlalu panjang untuk dilanjutkan! Tuh, tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, sudah. Semoga yang aku sudah umbar aku tepati.
Aku harap aku tidak menjadi lebih munafik. Aku harap aku tidak menjadi lebih tersesat. Semoga belum terlambat.
Mohon bimbingannya, ya!
-
Apakah aku sudah memahami pandanganmu atas kemuakan akan hidupmu sendiri, Keyko? Semoga Kamu dapat membaca ini, bagaimanapun caranya, dimanapun kamu berada.
Sholatku tak tenang. Mungkin semua hanya sugesti, pikirku. Terlalu kagum dengan paham agnostik. Iri kepada adik, kakak, dan keluarga dalam hal sholat mereka.
Badan yang rusak. Badan yang lemah. Racun terus masuk, terus konsumsi, bagaimana tidak. Hanya menuruti candu, nikmat sesaat, menyesal, besoknya mau lagi. Seperti masturbasi.
Penyesalan, sesekali. Absurditas. Ketidakmaksimalan. Kemunafikkan. Kegagalan. Ketidakbermanfaatan. Kehilangan, kecaman juga, mungkin. Surealis.
Wah, umurku sudah hampir 20 tahun. Ya. Tidak terasa. Bodoh! Kok? Sekarang belum kapok, mau jadi apa kau, nak? Ya, ampun. Ditipu daya. Keyakinan naik turun. Mau belajar tapi tak mau sungguh-sungguh berjuang.
Hidup ini seperti ditimpa tanah longsor; berat, menunggu ditolong orang lain, kalau tidak ya menunggu mati.
Yang ada kau dan setan. Jadi pandai-pandai menyegel diri.
Teman. Ya, setidaknya aku yang menganggap mereka teman. Lalu ada orang tua, keluarga, guru, dan lainnya, semua tertipu. Sebenarnya terhina. Kuhina. Kecuali yang tak nampak, makhluk halus tidak dihitung.
Mau bagaimana lagi? Siapa yang lebih dulu mulai membicarakan hina di belakang? Aku lebih memilih untuk ditembak tepat di dahiku sendiri, daripada punggungku yang ditusuk, lalu di kemudian hari aku baru mengetahui ada pisau yang menancap di belakangku sejak lama dan lalu merasakan sakitnya karena sudah membusuk.
Sekarang sudah hampir terkulai. Serasa berat kaki ini. Serasa buntu otak ini. Yang ada hanya abstrak. Tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, ini memang kebodohanku. Aku tidak boleh menyalahkan mereka. Yang ada aku, mulutku, nafsuku, kemudahan dan pertanggungjawaban. Semua sudah tertipu. Ma’afkan aku.
20 tahun yang terasa cepat. Tidak bermanfaat. Susah untuk kembali. Aku perlu pendamping dan pembimbing. Aku pikir jika aku mengaku maka aku menjadi terhina. Hina durjana. Sudah ribuan menitku, sepertinya, dirampasnya. Wah, aku merasa sudah dikalahkan.
Aku memang masih seperti dulu. Masih terperangkap dan belum juga beranjak pergi. Tarik aku. Angkat aku. Lalu banting ke dalam sumur. Yang gelap, pengap, sesak, angker, seperti terjebak di dalam kuburanku sendiri.
Anggap saja aku buta, tuli dan bisu. Semu. Semua tertipu. Hanya kami yang tahu. Kalian tidak. Mau diratap tapi tiada guna. Mau mati masih bangkrut. Mau hidup takut mengulangi hal yang sama.
Apa sebaiknya aku hijrah? Belajar agama dari nol.
Adakah yang mau denganku setelah semua ini? Tidak tahu siapa istriku nanti. Ah, bahkan aku tak bisa membayangkannya. Tak bisa membayangkan masa depanku..
Sekarang aku jujur, aku tidak mampu. Aku butuh waktu untuk belajar jadi orang yang bersih. Yang bisa mengantarkanku ke surga. Surga akhirat saja. Surga dunia tidak jadi tujuan, tidak apa-apa. Jadi sampah masyarakat, sekalipun. Jadi orang gila, telanjang. Malu? Kan gila, tapi bersih. Amalku bersih, ya.
Aku seperti binatang buas yang baru lepas kandang. Andai saja. Begini dan begitu. Tiap orang memang punya garis berbeda. Aku merasa aku sudah di pinggir palungku. Semoga aku tidak menginjak lumpur hidup, terhisap. Merasa sudah tua. Tidak berdaya. Yang ada di otakku itu itu saja. Umur bisa diperpanjang, nggak, ya?
Kenapa tidak ijinkan aku jadi penyebar agama saja? Kalau boleh. Kalau bisa. Pengamal agama. Pembeda dalam agama. Pembelajar. Orang yang punya target dan rencana. Orang yang tahu diri dan waktu.
Mungkin disini memang tempatku. Tempat kumuh yang baru. Antara menjadi cahaya atau menjadi kotoran. Mungkin batu kerikil di pinggir jalan, yang tidak akan pernah dipedulikan seseorang pun.
Oh, hidup!
Woy, hidup! Hidup sialan! Yang tidak memihakku! Bedebah! Jangan berakhir cepat sebelum aku bersih dan siap! Tapi jangan terlalu panjang untuk dilanjutkan! Tuh, tidak konsisten, plin-plan saja. Ya, sudah. Semoga yang aku sudah umbar aku tepati.
Aku harap aku tidak menjadi lebih munafik. Aku harap aku tidak menjadi lebih tersesat. Semoga belum terlambat.
Mohon bimbingannya, ya!
-
Apakah aku sudah memahami pandanganmu atas kemuakan akan hidupmu sendiri, Keyko? Semoga Kamu dapat membaca ini, bagaimanapun caranya, dimanapun kamu berada.
Wednesday, June 4, 2014
Dialog #3
"Kau pernah jatuh cinta?"
"Sekali. Di bulan."
"Lalu senang?"
"Sekali! Kau?"
"Aku akan menikah dengan terminal."
"Maksudmu?"
"Dengan mengikatnya, cinta, aku, dan terminal jadi tak terpisah. Bukan begitu?"
"Sejatinya iya. Hanya saja ikatan kadang tak sebenarnya hebat."
"Jangan merayu sayu! Selera kalimatmu masih sedayu dahulu."
"Oh iya, ceritakan kisahmu!"
"Kami bertemu dulu. Dua hari. Kami berangkat disana. Pun kita pulang bersama. Merasa senang. Aku mencium. Dia memeluk, besoknya dia kemudian hamil. Kata dokter, rinduku laki-laki."
"Secepat itu?"
"Bingung juga. Mungkin pandangan pertamaku terjadi ketika masa subur. Oleh karena itu aku tidak bisa kabur. Atau mundur."
"Benar darah dagingmu?"
"Hmm, tak usah buru-buru cemburu. Bukankah anak atau rindu itu sama? Berasal dari hasil jatuh suka. Sebuah simbiosis. Penyatuan yang unik, abstrak, dan apalah."
"Begitukah?"
"Kau sendiri, akan ke bulan lagi?"
"Mungkin. Dalam waktu jauh. Itu juga kalau aku tak jenuh. Bulan tempat paling teduh. Sayang disana tidak ada sapu. Rabu. Serta ragu-ragu."
"Mengapa kau tidak mencari bintang saja? Di udara bahkan laut, mereka merumahkan diri. Jadi kau tak perlu bersusah repot."
"Tapi bulan itu istimewa. Bulat, artinya dia halus. Tidak seperti bintang yang runcing dan bertangan lima. Sementara bulan, umurnya kelipatan empat belas. Seperti rindu yang merapat tak selalu saling membalas."
"Hati-hati, lho! Kadang rindu adalah jalur patah hati paling keji kala kata luka lara."
"Lha, kenapa?"
"Orang bisa menciptakan hal luar biasa saat patah hati. Termasuk memetik rembulan. Orang pun tak perlu jalur janur melengkung untuk mencari dewasa ayu buat saling mempersunting."
"Apa iya bulan akan selingkuh? Meski dia cantik, tapi dia setia kok!"
"Bagaimana kau tahu dia perempuan?"
"Aku pernah liat ia memakai pembalut di malam kelima."
"Oh, benarkah? Keningmu sepertinya panas."
"Tidak, kening kita. Mungkin terlalu larut dalam rata kata kiri kanan. Sementara klausamu terlalu lemah untuk menjamah ruang spasi."
"Sudah-sudah. Terminalmu adalah subjek yang sulit teranalisa. Sementara rembulan menjadi keterangan tempat paling misterius. Mereka berdua tanpa predikat yang berasal dari kata kerja berawalan cinta berbentuk segitiga."
"Baiklah. Mari berjalan pulang."
-
Siratan dialog ini tiba-tiba terkonstrak dengan sendirinya di belakang mata, memaksa dengan lembut untuk menuangkannya di atas kertas bermodalkan pena yang hampir habis selama satu jam, sebelum kubiarkan hanyut dalam wadah dimensi ketujuh ini. Sedari realita kini yang nampaknya dapat menjadi lebih indah dari sekedar mimpi-mimpi. Atau mungkin tidak.
Dialog #2
"Scream.."
"What?"
"AAAAAAAAAHHH!"
"What're you doing?"
"Just follow me! AAAAAAAAAAAAHHHH!"
"Ah.. AAAAAAAAAAAAAAAHH!
"Look, it's fun, right? AAAAAAAAAAAAAHHH!"
"Haha, you're right. In the top of building, there's no one can hear you."
"It relieves the stress, too. AAAAAAAAAAAAAAHHH!"
"I'M FREEZIIIIIIIING!"
"ME TOO!"
"YOU ARE CRAZY!"
"YOU ARE CRAZIEEEEERR!"
"I LOVE YOUUUUUU!"
"...wh-"
"Ah, haha."
"...AAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!"
"..."
"..."
Sunday, May 25, 2014
Dialog #1
"Apakah kamu tahu bahwa rambut dan kuku manusia itu terbuat dari zat yang sama?"
"Oh, ya?"
"Lalu apakah kamu tahu juga bahwa jaring laba-laba itu lebih kuat dari baja sekalipun?
"Serius? Aku baru tahu akan hal itu."
"Iya, itu benar. Ah, aku cinta sekali dengan sains."
"Aku tidak yakin kamu mengerti apa itu cinta, atau bahkan sains itu sendiri."
"Lho, apa yang membuatmu berkata seperti itu?"
"Begini.. Ketika kamu mencintai sesuatu, kamu tidak hanya mencintai bagian yang menarik dan menyenangkan saja, tetapi kamu juga harus mencintai bagian yang tidak menarik dan membosankannya juga."
"Hmm, maksudmu?"
"Orang-orang yang benar-benar mencintai sains tentu menghabiskan dan mengorbankan hidupnya untuk mempelajari hal-hal yang membosankan, juga di saat mereka mempelajari hal-hal yang menyenangkan."
"Jadi, menurutmu aku hanya tertarik pada hal yang menarik dan uniknya saja? Lalu itu tidak dapat disebut cinta?"
"Tentu tidak. Andaikan sains dapat berjalan dan kamu berpapasan dengannya, kamu adalah orang yang hanya akan menengok ke belakang untuk melihat bokongnya yang montok."
Wednesday, May 21, 2014
Tapi Kamu Tidak
Ingatkah hari itu ketika kamu meminjamkanku vespa barumu dan aku mengendarainya masuk ke selokan? Aku kira kamu akan marah besar..
Tapi kamu tidak. Kamu hanya menganggap hal itu sebagai suatu kesialan dan tak bisa dihindarkan.
Ingatkah hari itu ketika aku tak bisa menahan tawa lalu memuntahkan isi mulutku yang penuh makanan ke laptopmu? Aku kira kamu akan membenciku..
Tapi kamu tidak. Kamu hanya ikut tertawa dan membersihkan mulutku setelah itu.
Ingatkah hari itu ketika aku memaksamu untuk pergi ke pantai, lalu sampai akhirnya disana turun hujan deras seperti yang sudah kamu kira? Aku kira kamu akan mengatakan, “Sudah kubilang!”..
Tapi kamu tidak. Kamu hanya membawaku ke saung di dekat pantai lalu mengeringkan rambutku dengan handukmu.
Ingatkah hari itu ketika aku iseng menanggapi lelaki yang menggodaku di social media untuk membuatmu cemburu, dan kamu benar-benar cemburu setelah itu? Aku kira kamu akan meninggalkanku..
Tapi kamu tidak. Kamu hanya menjitak kepalaku keesokan harinya.
Ingatkah hari itu ketika aku lupa memberitahumu bahwa dresscode acara ulang tahun temanku adalah baju formal? Sampai akhirnya kamu datang hanya memakai kaus oblong dan celana jeans. Aku kira kamu akan langsung pulang..
Tapi kamu tidak. Kamu hanya cuek dan menarikku ke meja yang dihidangkan chocolate fondue lalu menyuapiku.
~
Ya, ada banyak hal yang tidak kamu lakukan, tapi kamu tulus menyayangiku, melindungiku, membuatku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di seluruh dunia.
Ada banyak sekali hal yang aku ingin lakukan bersamamu ketika kamu kembali membuka mata.
Aku ingin kamu mengajakku berlari menembus padang ilalang yang tersinari oleh lembayung senja. Aku ingin kamu memintaku menemanimu untuk menyelami alam bawah laut yang biru, dengan pilar-pilar cahaya matahari terik yang menelisik masuk menerangi karnaval kehidupan bersirip. Aku ingin berbaring di sebelahmu di bawah pohon yang sejuk, memandangi awan-awan yang mengambang malas di luasnya lantai langit biru yang tak terbatas.
Bahkan andaikan kita harus melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin, aku tetap ingin ada di dalam dekapanmu.
Aku tersenyum membayangkanmu berdiri dari ranjangmu, melepas masker oksigen, melompat keluar dari kamar sambil menarik tanganku menuju antah-berantah, dengan satu-satunya cara untuk menemukan arah kita adalah dengan membaca bintang gemintang.
Tapi kamu tidak.
Tuesday, May 13, 2014
Alat Tukar Menukar
Semua
kebahagiaan dan kesedihan berasal dari uang.
Setidaknya bagi mereka yang menuhankannya.
Menyenangkan
dan membuat sedih orang lain butuh biaya materiil dan non-materiil.
Memakan
uang teman, orang tua, dan atasanmu sendiri.
Dan
katanya, bahkan bisa membeli cinta. Bermain lendir per jam.
Juga
uang bensin sekedar melepas rindu kepada lelaki cantik dan wanita tampan idaman
hatimu.
Menulis
ini pun butuh biaya.
Berperan layaknya pengendali alam semesta, kehidupan tentunya,
bahkan
untuk kamu yang hobi beribadah (atau sekedar mengguggurkan kewajiban?) dan beramal baik (karena takut neraka dan rindu surga).
Bagaimana
kalau kita hancurkan saja b.a.z.i.s di bulan suci?
Memberi kacang sebagai sedekah seperti kepada monyet kelaparan dalam kurungan. Tapi konsep beras boleh juga, untuk perut juga, ya?
Lebih
baik sistem purba diberlakukan kembali saja, yaitu barter yang dicontohkan di
film kolosal di jaman sebelum sang juru penyelamat lahir? Kenapa tidak? Sama saja, ya?
Ah,
aku terlalu tolol untuk menjadi sok tahu dan banyak tanya.
Bagaimana
kalau aku memberi saja titah bagi kalian yang gemar berharap, berdoa, bertekuk
lutut dan meminta belas kasihan sepanjang waktu agar ada yang memusnahkan uang? Untuk kehidupan lebih baik, juga menghilangkan konsumerisme yang sangat dekat
dengan nyawa dan hutang budi, termasuk menyekolahkan anak anda menjadi yang
terhormat daripada orangtuanya sendiri.
Membalasnya
dengan membuang mereka yang sudah jompo.
Membeli
darah dan nafas buatan pada kapital swasta.
~
Pencetak
masalah, pengendali kehidupan, sok tuhan, lingkaran setan!
Terkutuklah penemu konsep uang!
Friday, May 2, 2014
Punggung
Sinar mentari sore menelisik masuk di antara celah-celah pepohonan yang berjejer teratur di taman. Semilir angin sejuk berhembus sesekali, menembus masuk jendela yang terbuka setengahnya. Detak jarum detik jam dinding yang menggantung di atas papan tulis terdengar begitu cepat, aku tidak mengharapkannya.
Punggung itu, aku masih ingin memandanginya.
Aku sudah lama senang memandangi punggungnya. Punggung yang mengembang pelan dan tenang secara berirama, yang dijatuhi lembut oleh riak-riak gelombang semesta hitam.
Aku ingin menjadi seseorang yang selalu bisa mengelusnya ketika memeluknya, menepuknya halus ketika menghiburnya, memainkan jariku mengikuti garis lengkung punggungnya ketika menggodanya.
Punggung itu, membuat fantasiku mengabaikan langit sebagai batas.
Bel sekolah berbunyi nyaring. Tak berapa lama, punggungnya yang damai pun berbalik. Dia. Aku jarang melihat matanya. Terakhir kali bertukar pandang, napasku tercekat. Dari hidungnya yang mancung sampai dagunya yang mungil, pandanganku harus sebatas itu ketika berpapasan dengannya.
Sejujurnya, aku merasa tidak pantas untuk mendekatinya. Dia bagaikan bintang terang di langit malam, aku hanya kerikil kecil di pinggir jalan. Lelaki sepertiku hanya berhak untuk mengaguminya diam-diam. Hanya dengan punggung itu, aku bisa menerimanya.
Aku tertatih mencoba untuk bangkit ketika punggung itu menjauh, dan sampai akhirnya menghilang dari pandanganku. Biarlah, batinku. Lagipula, tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mencintai; memilih untuk diam, memperhatikan dari jauh, dan mendoakan diam-diam
Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cintai. Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk tersenyum di kala membuatnya tertawa dalam khayal sebelum tidur. Tiap orang juga mempunyai caranya sendiri untuk menyembunyikan tangisnya sendiri.
Caraku, adalah dengan memandangi punggungnya hingga tersesat dalam angan, sampai terasa letup-letupan yang membuncah, pelan-pelan menggelitik dari dalam, larut dalam nyaman yang menjadikannya candu.
Enggan mencari jalan untuk kembali, karena tidak ada dia yang menungguku di pintu keluar.
Punggung itu, aku masih ingin memandanginya.
Aku sudah lama senang memandangi punggungnya. Punggung yang mengembang pelan dan tenang secara berirama, yang dijatuhi lembut oleh riak-riak gelombang semesta hitam.
Aku ingin menjadi seseorang yang selalu bisa mengelusnya ketika memeluknya, menepuknya halus ketika menghiburnya, memainkan jariku mengikuti garis lengkung punggungnya ketika menggodanya.
Punggung itu, membuat fantasiku mengabaikan langit sebagai batas.
Bel sekolah berbunyi nyaring. Tak berapa lama, punggungnya yang damai pun berbalik. Dia. Aku jarang melihat matanya. Terakhir kali bertukar pandang, napasku tercekat. Dari hidungnya yang mancung sampai dagunya yang mungil, pandanganku harus sebatas itu ketika berpapasan dengannya.
Sejujurnya, aku merasa tidak pantas untuk mendekatinya. Dia bagaikan bintang terang di langit malam, aku hanya kerikil kecil di pinggir jalan. Lelaki sepertiku hanya berhak untuk mengaguminya diam-diam. Hanya dengan punggung itu, aku bisa menerimanya.
Aku tertatih mencoba untuk bangkit ketika punggung itu menjauh, dan sampai akhirnya menghilang dari pandanganku. Biarlah, batinku. Lagipula, tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mencintai; memilih untuk diam, memperhatikan dari jauh, dan mendoakan diam-diam
Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cintai. Tiap orang mempunyai caranya sendiri untuk tersenyum di kala membuatnya tertawa dalam khayal sebelum tidur. Tiap orang juga mempunyai caranya sendiri untuk menyembunyikan tangisnya sendiri.
Caraku, adalah dengan memandangi punggungnya hingga tersesat dalam angan, sampai terasa letup-letupan yang membuncah, pelan-pelan menggelitik dari dalam, larut dalam nyaman yang menjadikannya candu.
Enggan mencari jalan untuk kembali, karena tidak ada dia yang menungguku di pintu keluar.
Wednesday, March 12, 2014
Introduction
Finally.. This day come as well.
Sudah lama blog ini dibuat, tapi belum terisi. Dari mulai lebih memilih menghabiskan waktu luang dengan kesenangan lain, keringnya ide hanya untuk post pembuka blog ini, juga menunggu layout title dari kakak tercinta. But, here I am now.
Rencananya, blog ini akan membahas apa saja yang ada di dalam kepala, dari kehidupan sehari-hari, momen-momen penting dalam hidup, impian beserta proses-proses dalam menggapainya, pemikiran-pemikiran absurd, mungkin, sampai interests terhadap musik, seni, filsafat, psikologi, dan tentu saja sastra. Blog ini akan menjadi semacam mangkuk besar dalam dimensi ketujuh yang menampung segala hal yang ingin dicurahkan, diceritakan, dan dijelaskan teruntuk siapa saja yang ingin membacanya. Bisa jadi, blog ini menjadi semacam upaya untuk lebih mengenal diriku sendiri, juga mengenal malam.
Rape the night. Malam yang menawarkan kenangan, renungan, angan-angan. Malam yang tak tertebak kehendaknya. Malam yang membuat khayal menjadi ramai. Malam ibarat memasrahkan dirinya untuk dijamah oleh mereka yang berhasrat memperkosanya, agar segala rahasianya terkuak. Rahasia-rahasia yang berputar miring dan bertabrakan, menafsirkan pesan tersirat agar mereka bisa mencoba untuk memahaminya melalui kacamatanya masing-masing. Mereka sesungguhnya tahu bahwa, katakan, sampai dunia sudah tidak bertuhan nanti pun, mereka tidak akan pernah menemukan secara pasti apa yang mereka coba telaah, tetapi hal itu bukanlah sesuatu hal yang sia-sia. Kemapanan sejati dalam proses pencariannyalah yang ingin mereka dapatkan, sadar maupun tidak sadar, demi mencapai aktualisasi dirinya.
Aku adalah salah satu dari mereka; anonim-anonim yang larut dalam malam, tersesat di belakang matanya.
Rape the night. Malam yang menawarkan kenangan, renungan, angan-angan. Malam yang tak tertebak kehendaknya. Malam yang membuat khayal menjadi ramai. Malam ibarat memasrahkan dirinya untuk dijamah oleh mereka yang berhasrat memperkosanya, agar segala rahasianya terkuak. Rahasia-rahasia yang berputar miring dan bertabrakan, menafsirkan pesan tersirat agar mereka bisa mencoba untuk memahaminya melalui kacamatanya masing-masing. Mereka sesungguhnya tahu bahwa, katakan, sampai dunia sudah tidak bertuhan nanti pun, mereka tidak akan pernah menemukan secara pasti apa yang mereka coba telaah, tetapi hal itu bukanlah sesuatu hal yang sia-sia. Kemapanan sejati dalam proses pencariannyalah yang ingin mereka dapatkan, sadar maupun tidak sadar, demi mencapai aktualisasi dirinya.
Aku adalah salah satu dari mereka; anonim-anonim yang larut dalam malam, tersesat di belakang matanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)